Suasana danau begitu tenang, langit pun sebiru kristal. Semesta seolah tengah menyimak kebersamaan kedua sahabat yang sudah beberapa tahun dipisahkan oleh jarak dan kini bertemu di tempat awal persahabatan itu terikat. Mereka saling berbagi cerita selama jarak tercipta, melebur kerinduan yang sangat lama terpahat.
Ada hal yang dilupakan gadis itu, yaitu sebuah kenyataan. Kenyataan yang membuatnya harus memilih tanpa ada yang tersakiti. Namun, gadis itu benar-benar melupakannya. Ia begitu larut dalam kebahagian yang di ciptakan temu ini.
Gadis berkerudung ungu itu tertawa renyah, terlihat gigi yang tertera rapih. "Kamu ko bisa jadi tentara?" Tanya Raida, tawanya perlahan berhenti.
"Mengikuti jejak Papa, sekaligus memenuhi impian kamu." Dahi Raida mengerut ketika mendengar penuturan akhir Arvan. "Impian aku?" Gadis itu mengulang kata itu lagi.
Lelaki itu pun mengangguk pasti, "ah, sudahlah jangan dipikirkan," katanya.
"Kamu lapar gak? Kita makan yuk!" Ujar Arvan mengalihkan pembicaraan, ketika ia melihat wajah Raida yang sedang berpikir keras karena kata-kata yang ia lontarkan.
"Ayuk! Rumah makan dekat sini aja ya." Arvan mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan.
Mereka tak memakai kendaraan tapi dengan berjalan kaki. Karena tempat rumah makan yang dituju tidak jauh dari tempat mereka bertemu tadi.
Hanya rumah makan sederhana bernuansa tradisional dipilih mereka untuk mengisi perut yang meronta-ronta meminta jatah.
Kegiatan makan dimulai ketika pramusaji membawa dua piring makanan dan juga dua jus, sesuai pesenan.Tak ada pembicaraan, hanya ada alunan musik sunda yang terdengar. Sangat terasa sekali suasana desanya, apalagi di Bogor tempat Raida tinggal masih terjaga kesejukan udaranya.
Usai mengisi perut mereka melanjutkan perjalanan yang entah mau kemana, ini semua atas permintaan Raida yang ingin menghabiskan waktu bersama seperti masa kecil dulu. Ya, walaupun hanya sekedar berjalan di trotoan.
Tatapan keduanya mengenadah ke atas, ketika terasa sebuah tetesan air jatuh dari langit. Hujan telah datang.
"Hujan Raida, ayok meneduh," ajak Arvan. Namun tak digubresi oleh Raida, gadis itu malah manari-nari di bawah rintikan hujan yang kian menderas.
"Raida! Nanti kamu sakit!" Tegas Arvan, kendati lagi-lagi Raida tak mendengarnya.
"Sudahlah, Arvan. Kita nikmati saja hujan ini," ujar gadis itu yang terdengar samar oleh rentetan suara hujan.
Benar apa kata Raida, mereka sudah basah. Percuma meneduh! Pikir Arvan.
Lelaki itu sama sekali tak berbuat apapun, hanya berdiri memperhatikan Raida yang sedang menari-nari di dalam naungan hujan. Membiarkan seragam kebanggaannya tersentuh oleh air hujan, dan mengembangkan senyuman tanpa sadar.
Jika ditanya apa kebahagian Arvan, maka jawabannya adalah Raida.
~•°•~
Percikan cahaya mentari telah memasuki cela-cela jendela dengan mudah, semburat udara pagi membuat siapa saja mampu berlama-lama di ranjang empuknya. Seperti apa yang di lakukan Raida, gadis itu bergulat kembali dengan selimutnya setelag menunaikan sholat subuh. Dan tibalah sang surya, Raida tetap saja berada di tempat tidurnya.
Mungkin tenaganya terkuras banyak karena waktu kemarin yang ia habiskan bersama sahabat masa kecilnya. Waktu itu, seolah dimanfaatkan mereka untuk membalas dendam terhadap jarak yang telah memisahkan.
Sejuru kemudian pintu kamar Raida yang tidak terkunci terbuka lebar, menampilkan sosok malaikat Raida yaitu Lita. Bundanya itu tersenyum maklum, lalu menepuk-nepuk pelan pipi sang anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...