22:[Nyawa baru]

2.2K 92 0
                                    

Sayup-sayup udara terasa menerpa pori-pori wajah, sinar sang mentari seolah menelusuk kelopak mata yang sedang tertutup damai ini. Sepertinya sinar itu berhasil membuatnya terbuka sempurna, walaupun masih terasa berat dibagian kepala. Pupilnya menelusuri ruangan, berharap ada seseorang yang tengah ia cari.

Perlahan gadis itu ingin beranjak dari ranjang tempatnya berbaring, namun badanya seolah remuk dan kepalanya masih terasa berdenyut. Gadis itu mendengkus, ia mengalihkan tatapanya pada jendela. Ternyata mentari sudah menampakan sinarnya, itu berarti dia pingsan cukup lama.

Tatapannya beralih ketika suara pintu terbuka terdengar, senyumannya di bibir pucatnya tercipta.
"Alhamdulillah Adek sudah bangun." Raida hanya tersenyum saja ketika Arvan duduk di sampingnya seraya mengelus dan mencium pucuk kepala gadis itu.

"Maaf ya meninggalkan Adek sebentar, tadi Mas habis dari apel pagi," Ujarnya lagi.

"A-dek kenapa, Mas?" Bibir Raida akhirnya berucap meski sadikit serak khas orang bangun tidur.

Bukannya menjawab Arvan malah menawarinya untuk makan, alhasil Raida menolak dan tetap keukeuh mempertanyakan mengapa dirinya bisa pingsan, seingat Raida pada saat sebelum pingsan ia merasa kepalanya terasa tertusuk dan berat sekali.

"Adek makan dulu ya, habis itu minum obat."

"Nggak mau, Mas jawab dulu pertanyaan Adek. Baru Adek makan."

Lelaki itu menghela nafas, kemudian tangannya menyentuh perut Raida, "Di sini akan ada nyawa baru yang akan tinggal." Sontak itu membuat Raida berfikir keras, dan beberapa detik kemudain senyuman gadis itu tercipta. "Adek hamil?"

Arvan memberikan anggukan, dan itu membuat mata Raida berbinar-binar. Ia akan menjadi seorang ibu? Benarkah?
"Adek akan jadi seorang ibu?" Lagi-lagi Arvan mengangguk, senyuman lebar tak dapat di elakan lagi.

"Terima kasih ya Allah kau telah mempercayakan kami." Air mata kebahagian tiba-tiba lolos dimata gadis itu, bersamaan dengan itu Arvan mencium kening Raida. Tak di sangka Arvan pun menangis, tapi ia segera hapus dan tersenyum kembali.

Lelaki itu beranjak kembali kepada perut Raida, dan mengelusnya penuh kelembutan, "assalamulaikum, anak Abi. Baik-baik ya di sana jangan pernah merepotkan Umimu." Raida menangis kembali, ia tidak kuat menahan harus ketika Arvan menyebiut dirinya 'Umi'.

Usai mengecup perut datar Raida, Arvan kembali menatapnya. "Jangan menangis dong." Ujarnya seraya menghapus air mata Raida dengan tangannya.

"Ini tuh tangis bahagia tahu gak!" Arvan kembali tersenyum, "yasudah, makan ya buburnya. Kan Adek sudah bilang mau makan kalo sudah Mas kasih tahu semuanya."

Akhirnya Raida menerima suapan bubur itu, namun baru tertelan ada sesuatu yang membuat bubur itu terdorong kembali. Raida merasa mual, lantas gadis itu beranjak ke kamar mandi tanpa mempedulikan Arvan dengan raut khawatirnya.

Di westafel ia keluarkan semuanya sisa makanan yang ada di perutnya.
"Ada apa? Buburnya tidak enak?" Raida mengangguk dengan polos.

"Mungkin ini efek hamil, jadi Adek mau makan apa sekarang? Adek harus sarapan loh biar dedek bayi kita tumbuh sehat."

"Adek mau masak nasi goreng aja, sekalian buat Mas."

"Yasudah, Mas bantu ya?"

"Tidak usah, Mas duduk saja." Raida mendorong pelan tubuh Arvan untuk duduk manis. Akhirnya lelaki itu mengalah, tatapanya tak teralihkan ketika gadis itu sibuk meracik bumbu. Dalam hatinya ia berharap Raida tidak mengalami ngidam yang ekstrim seperti Mamahnya dulu mengandung Sesil, tapi jika pun memang harus begitu Arvan tidak apa bangun malam untuk membelikan atau membuatkan sesuatu untuk istrinya itu.

~•°•~

Raida menatap lama bingkisan yang begitu banyak di meja ruang tamu, ia bingung harus apakan bingkisan itu. Tadi beberapa jam yang lalu, para ibu-ibu persit datang ke rumahnya dan membawa banyak sekali bingkisan. Sepertinya mereka bukan datang menjenguk, pasalnya mereka terlalu berlebihan membawakannya segini banyak.

Gadis itu menghela nafas, ditompangnya wajah dengan tangan. Bisa ia tebak kalo isinya ialah kue, apakah ia bisa kuat memakan semuanya? Ah, lagi-lagi itu membuat Raida bingung. Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukan pukul sembilan malam, namun Arvan belum pulang karena ada panggilan dari komandannya, entahlah panggilan apa Raida tidak menanyakannya. Jadi ia harus apa sekarang? Hanya menatap bingkisan ini saja? Lagi-lagi Raida bertanya dalam hatinya tentang sesuatu yang tidak penting.

"Assalamualikum."

Sontak Raida menoleh, dan mengembangkan senyuman ketika yang datang ialah Arvan, suaminya. "Waalaikumsalam, Mas." Gadis itu mencium tangan Arvan ketika lelaki itu duduk di sampingnya.

"Kamu kenapa belum tidur, hm?"

"Adek bingung." Arvan mengerutkan dahinya terhadap penuturan istrinya itu. "Bingung kenapa?"

"Tadi ada ibu-ibu persit datang kemari buat jenguk Adek, trus mereka datang membawa bingkisan segini banyaknya." Raida menunjukan bingkisan yang ada dihadapannya.

"Trus di mana letak kebingungannya?"

"Adek bingung harus apakan bingkisan ini, mana mungkin Adek makan semuanya."

Arvan berusaha menatan tawanya ketika melihat wajah menggemaskan Raida, "oh itu yang membuat Adek bingung. Gampang itu mah, kalo kamu gak bisa makan semuanya biar para anggota Mas saja yang makan, mereka pasti mau."

"Ah, iya ya kenapa Adek tidak kepikiran."

"Yasudah kamu tidur gih, biar Mas yang bereskan bingkisan ini."

"Oke, lah Adek pun dah ngantuk." Raida lantas berlalu ke kamarnya, dan membaringkan tubunnya. Tidak perlu beberapa menit ia tertidur, entahlah sadar atau tidak akhir-akhir ini Raida begitu gampang tidur.

Sementara Arvan memandangi wajah istrinya yang sudah terlelap dalam mimpi, ia baru saja kembali setelah membereskan bingkisan. Kini lelaki itu menidurkan dirinya di samping Raida. "Mas mencintaimu." Ucap Arvan sebelum sebuah ciuman diberikannya pada kening Raida dan terlelap dalam posisi memeluk gadis itu.

~•°•~

Ketika kelopak matanya dibuka, ada sebuah ciuman mendarat di pipinya. Raida tersenyum menyambut kehadiran Arvan.

"Ayo bangun, kita sholat malam." Raida lantas beranjak dan melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Kembalinya dari kamar mandi, ia melihat Arvan sudah menggelarkan dua sajadah, segera gadis itu memakai mungkena. Usai itu rakaat demi rakaat di kerjakan oleh kedua insan ini. Di temani kesayaduan sepertiga malam mereka membuat siapa saja merasa iri.

Setelah selesai, Raida mengecup punggung tangan suaminya begitupun lelaki itu memberikan kecupan pada kening Raida.
"Terima kasih telah mengijinkan rahimmu untuk menumbuhkan buah hati kita," bisik Arvan.

Walaupun masih terlihat rata, akan tetapi Arvan terus saja mengelus perut Raida dan bersamaan dengan itu tangisan bahagia Raida selalu saja meloloskan diri di pelupuk matanya.
"Nanti kita ke dokter ya." Raida mengangguk saja.

"Sudah waktu subuh, Mas ke masjid dulu. Assalamuaikum." Tangan Arvan di cium kembali oleh gadis itu, "waalaikumsalam."

Sepeninggalan Arvan, Raida masih digelaran sejadahnya. Ia bersujud syukur untuk sang pencipta atas kebahagian yang telah diberikannya.

~•°•~

Wah, punya dedek bayi😚

Uhu, boleh tidak aku memajukan konfliknya sudah tidak sabar😂
(Ampun deh, aku kabur duluuu🙈)

Salam.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang