7:[Keikhlasan]

2.4K 126 1
                                    

Gerak gerik pupil matanya seolah tidak bisa diam, bibirnya seperti terpasung ketika seseorang yang ingin di temuinya sudah ada di hadapan. Merangkai kata demi kata untuk saat ini sangat begitu sulit, oh god! Gadis itu seperti orang tidak waras.

"Katanya ada yang ingin dibicarakan? Ko diam?" Suara berat itu berhasil dengan sempontan mendongkakan wajah cantik gadis yang ada di hadapannya. Sudah beberapa menit lamanya gadis itu tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Aku ingin jujur ... tapi tolong Bapak dengar semuanya, Bapak boleh marah ko aku akan terima itu." Kata demi kata yang di lontarkan Raida membuat Fahri mengerutkan kening, tak paham apa maksud gadis yang sebenatar lagi akan menjadi miliknya.

"Kamu ingin jujur tentang apa? Kenapa saya harus marah? Saya tak mengerti maksudmu." Lelaki itu mendelik gemas dengan cara penyampaian Raida yang begitu basa-basi menurutnya.

Raida mengambil nafas panjang, lalu menghembuskan secara samar. "Tentang pernikahan kita." Kebingungan Fahri semakin tak tertahan, terlebih ketika Raida maksud soal pernikahan.

Lelaki itu semakin meneliti raut wajah gadis yang ada di hadapannya itu, namun yang ditatap malah mendudukan pandangan.
"Bicara saja," ujarnya.

Raida mendongkakan wajahnya namun tak sempurna, "maaf kan aku ... selama ini aku tidak bisa membalas perasaan, Bapak. Di dalam ikatan tunangan ini aku seperti membohongi diri sendiri, Pak. Aku tidak bisa mencintaimu, aku mencintai ... orang lain," jelas Raida dengan suara paruh, yang tandanya bahwa gadis itu akan terisak tangis.

Sedangkan Fahri termenung, pikirannya melayang entah kemana. Ada rasa sakit tentunya, namun itu masih bisa terkendali. Beginilah jika mencintai dengan sepihak.

"Saya sudah tahu akan hal itu." Lontaran kalimat yang dikeluarkan Fahri membuat Raida sangat terkejut, bukan hal itu saja, wajah tenang yang ditampakan Fahri membuat gadis itu merasakan kebingungan di dalam kerumitan ini.

Bagaimana bisa?
Dia sudah tahu?
Siapa yang memberitahu?

Banyak pertanyaan bermunculan, dan terjadilah pergulatan batin di sana.

"Saya sudah tahu, Raida. Apakah kamu sungguh mencintainya? Jika sungguh, bahagialah bersama dia. Kita selesaikan semuanya diantara kita, agar kamu tidak merasa terikat."

Raida dibuat terenyuh dengan keputusan yang sempontan, lelaki itu seolah tenang dan bijaksana. Raida semakin tak enak dibuatnya, karena secara tidak langsung ia memberi luka di hati Fahri.

"Bapak tidak kecewa ataupun marah?" Pertanyaan yang sungguh konyol itu membuat Raida meruntuki dirinya sendiri.

"Kecewa? Marah? Sudah pasti Saya merasakannya. Tapi percuma jika diperlihatkan secara berlebih, takdir tak akan berubah. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, Raida," jawab Fahri dengan nada lembutnya.

"Bagaimana Bapak tahu soal semua itu?"

"Maaf sebelumnya, Saya sudah tahu sejak kamu ke rumah sakit waktu itu dengan alasan cek up. Saya tak menyangka kamu akan berbohong."

Raida menduduk, ia malu. Malu terhadap dirinya sendiri, Fahri, dan juga Allah. "Maaf kan aku."

"Di saat itulah Saya mencari tahu soal lelaki yang kamu pinta nomernya itu. Ternyata dia sahabatmu, Arvan namanya. Dan satu lagi yang kamu harus tahu Raida ...." perkataan Fahri tercekat beberapa saat lalu berlanjut kembali, "Arvan, adalah teman Saya juga."

Deg.

Gadis itu terbelalak kaget. Ternyata dunia begitu sempit, secara tidak langsung Raida telah masuk ke kehidupan kedua sahabat ini.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang