10:[Meraih Izin Danyon]

2.5K 128 2
                                    

Pagi hari ini Raida tidak mengendarai mobilnya untuk ke rumah sakit, akan tetapi teman satu pekerjaannya datang ke rumah untuk menawarkan berangkat bersama. Namanya Gisel, dia seorang perawat di rumah sakit tempat Raida bekerja. Mereka bisa dibilang cukup akrab.

Sampai di gedung rumah sakit, Raida dan Gisel berpisah di lorong yang memisahkan ruangan Raida dan temat Gisel.

Raida melangkah dengan sedikit cepat, kedua tanganya di selipkan di kantung almamanter putih dengan penuh kebanggaan. Perlu perjuangan keras untuk mendapatkan almamanter ini.

Langkah gadis itu memasuki sebuah ruangan yang bertuliskan namanya beserta gelarnya kini sebagai dokter umum. Memang perlu banyak tahap untuk mendapatkan spesalis dalam kedokteran, dan Raida masih dalam tahap awal.

Beberapa menit kemudian kegiatannya sebagai dokter mulai di sibukan dengan para pasien. Rata-rata Raida sering menangani anak kecil dibandingkan orang dewasa. Cukup sulit karena tidak bisa diam, namun menyenangkan juga.


~•°•~

Istirahat kali ini Raida memilih makan di ruangannya saja, terlebih Lita sudah menyiapkan bekal tadi pagi.

Di saat tanganya ingin membuka tutup tempat makanan yang ada di hadapannya, tiba-tiba saja sebuah panggilan telpon masuk ke handphonenya.

Raida tersenyum ketika melihat siapa si penelpon, dia Arvan. Lelaki yang semalam menyatakan cintanya lewat sebuah lamaran.

"Waalaikumsalam, iya ada apa?" Benda pipih itu di tempelkan di telinga yang berbalut kerudung.

"Apa ya? Hmm tiba-tiba ingin telpon saja, mungkin karena sebuah rasa yang di sebut rindu." Suara di sebrang sana mampu membut bibir Raida melengkung sempurna. Kadang suka tidak bisa di tebak sifat Arvan ini, bisa tegas, bisa juga romantis seperti sekarang.

"Bertele-tele kamu ini."

"Hehe, kamu lagi istirahat kah?"

"Iya, ini barusan mau makan eh ada telpon." Terdengar suara helaan nafas bersalah.

"Maaf jadi terganggu ...."

"Ah, jangan seperti itu. Sejak kapan seorang Arvan merasa bersalah? Bukannya waktu kecil kerjaannya menganggu ya?" Raida tertawa renyah, gadis itu berusaha mengorek cerita indah pada masa lalu.

"Suttt lah jangan bahas kebandelanku dulu lah."

Raida hanya tertawa ringan, gadis itu tidak tahu jika di sebrang sana Arvan membulatkan bibirnya seperti anak kecil.

"Sudah ketawanya? Aku mau bilang sesuatu nih." Kali ini terdengar serius, lantas Raida mereda tawanya sebelum Arvan emosi.

"Bicaralah."

"Nanti pulang aku jemput ya, sekalian aku mau bicarakan pengajuan denganmu nanti ke Danyon beserta istri."

Gadis itu terdiam, ia sampai melupakan hal penting itu. Raida akan di pinang oleh seorang prajurit, jadi tak mudah mempersiapkan berkas-berkas untuk pengajuan. Terlebih nanti Raida akan masuk ke dalam luang lingkup anggota persit. Ah, membayangkannya saja membuat Raida tak percaya bahwa ia akan memakai baju hijau lusuh dan berdiri tegak berdampingan bersama seorang prajurit.

Membayangkannya saja membuat Raida seperti orang gila.

"Hallo, kamu masih di sana kan Raida?"

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang