21:[Lingkungan Militer]

2.1K 98 0
                                    

Satu minggu telah pergi berlalu, jarak pun semakin terkikis setelah dengan egoisnya tercipta. Ya, kini Raida telah kembali bersama lagi bersama Arvan. Memang, ini bukan akhir dari kisah hubungan jarak jauh yang mereka alami, karena pasalnya masih banyak tugas-tugas Arvan menanti di sana. Terlebih setelah ditugaskan dari Papua, komandan Dripko membuat ucapara pelantikan dadakan kepada Arvan sebagai kapten. Sungguh itu di luar dugaan, Raida sebagai istri tentunya sangat senang atas pencampaian sang suami dengan secara tiba-tiba seperti ini.

Dan tepat hari ini, setelah sehari setelah pelantikan Arvan, mereka bersiap-siap untuk menempati rumah dinas yang sudah menanti untuk ditempati. Perpindahan kali ini, membuat Raida harus terbiasa bersosialisai di daerah batalyon yaitu daerah asrama para TNI AD Bogor. Di sana pun pasti Raida akan mulai aktif dalam kegiatan persit. Sungguh tidak bisa dijelaskan kebahagian Raida.

Mereka hanya perlu mengemasi baju saja karena bareng-barang sudah tersusun rapih di rumah sana. Raida dan Arvan sama-sama berpamitan kepada Lita dan Darma. Setelah itu melesat pergi menggunakan mobil Arvan.

Hingga beberapa menit diperjalanan yang membuat Raida ngantuk mampu membayar rasa kantuk Raida menjadi wajah kagum ketika mobil memasuki wilayah asrama batalyon tersebut. Terlihat dari mata gadis itu banyak para prajurit yang sedang bercengkrama ataupun menikmati waktu istirahatnya. Sepertinya tidak ada individualisme di sini.

Hingga berhentilah mobil di sebuah bangunan, Raida pun segera turun bersamaan dengan Arvan yang sudah mengeluarkan koper mereka.
"Ayo, masuk." Intruksi Arvan membuyarkan lamunan Raida yang merasa ini sebuah mimpi.

Rumah dinas ini cukup luas untuk ditempati dua orang, Raida rasa ini bisa membuat dirinya nyaman seperti di rumah. Gadis itu rasa ini sudah dipersiapkan oleh Arvan sebelum perpindahan mereka.

"Istirahatlah, nanti Adek akan ke kantor Persit bukan? Mau korve."

"Iya, Mas. Aduh ... Adek ko jadi degdegan sih!" Arvan yang melihatnya hanya tekekeh, gemas rasanya ia ingin membawa gadis itu ke kamar dan menguncinya.

"Tidak usah mikir apa-apa tentang ibu-ibu persit, mereka baik ko Mas jamin deh. Yang penting ketika di sana Adek jangan banyak diam aja ikutlah bercengkrama atau melakukan sesuatu."

Raida mendengarkan penuh kata-kata Arvan barusan. Kalian tidak kaget ataupun bingung lagi dong, mengapa Raida gugup karena ini adalah pertama kalinya ia langsung bersosialisai bersama para anggota persit lainnya.

~•°•~

Tepat sore hari setelah sholat asar, Raida pergi ke tempat korve. Di sana banyak ternyata para istri tentara, dan Raida tidak sama sekali mengenal mereka. Ah, bagaimana pun gadis itu harus terlihat akrab walaupun sangat asing di mata mereka.

Gadis itu ikut bantu-bantu bersama yang lain, para persit di sini begitu kompak. Benar kata Arvan, jika dia hanya diam bisa saja dia disangka tidak sopan atau apalah. Namun, ketika Raida asik mengelap buah yang akan disajikan tiba-tiba saja seorang wanita melarangnya. Katanya gini. "Izin bu Arvan, biar saya saja. Tidak enak jadinya melihat istri kapten mengerjakan ini terlebih saya yang masih di bawah ibu tidak mengerjakan apa-apa."

Raida menatap dengan bingung, ada yang salah jika suaminya seorang kapten? Ataukah gadis itu yang tidak tahu banyak pasal tingkat kemiliteran.
"Tidak apa, Bu. Saya pun ingin membantu." Sahut Raida seraya tersenyum.

"Izin, Bu. Yasudah kita lakukan bersama saja."

Akhirnya perdebatan kecil yang terjadi cepat usai, mereka mengerjakan bersama agar kerjaan selesai tepat istri panglima datang.
"Izin Bu, ko saya baru lihat Ibu di sini?"

"Ah, iya saya baru pindah tadi pagi. Jadi belum banyak tahu tentang kehidupan prajurit."

"Izin Bu, oh kalo begitu kenalkan saya Rena istri lettu Didi. Suami saya sahabat kapten Arvan."

"Iya kah? Wah saya baru tahu, kenalkan saya Raida."

"Semoga Ibu betah di sini."

"Amin."

Dan akhirnya hari itu Raida memiliki kenalan, walau hanya satu tapi tak apa. Usai membersihkan buah, Raida meletakan itu di meja jamuan dan tepat saat itu istri panglima datang. Raida melihat mereka menyambut dengan hormat, sementara Raida duduk di tempatnya karena ia masih ingin menyimak bagaimana tatakrama dan prilaku di sini. Ia belum siap jika menjamu langsung istri panglima yang dulu pernah ia temui sekali waktu pengajuan.

"Izin Bu, silahkan Ibu Arvan temui langsung Bu panglima." Raida menoleh dengan raut terkejutnya, bagaimana bisa ia yang masih pemula menjamu langsung istri panglima? Ah, tugas yang sangat berat.

Tidak ada penolakan jika sudah menjadi tugas, baiklah Raida beranjak dan menghampiri wanita bertubuh gempal itu dengan dada berdegup kencang.
"Izin Bu, maaf berkenan minum teh atau kopi?" Dengan sopan Raida berucap.

"Eh, ini kah istri kapten Arvan? Wah, apa kabar? Kita tidak pernah bertemu ya, hanya terakhir waktu kalian pengajuan." Raida tersenyum malu, ia tidak bisa membayangkan wajah gugupnya ketika pengajuan.

"Izin Bu, ah iya Ibu kabar saya baik."

Setelah itu acara berjalan lancar tanpa kendala, Raida pun dapat menangkap sosok Arvan di kumpulan para lelaki berbaju hijau lupus. Tanpa sadar gadis itu tersenyum, ia bangga, ia bersyukur, dan ia beruntung ketika Arvan datang membawanya ke dalam puasaran takdirnya.

~•°•~

Malam itu sesudah melakukan kegiatan persit hampir beberapa jam, Raida dan Arvan sudah kembali lagi ke dalam rumah dinasnya. Tampak asing mungkin sekarang bagi Raida, tidak seperti rumah tau kamarnya tapi ia senang.

Raida yang sedang duduk di sofa, melirik jam dinding. Sudah waktunya makan malam, gadis itu beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan sebelum kembalinya Arvan dari masjid sekitaran kompleks prajurit.

Dibukanya lemari pendingin dan mengeluarkan sayuran. Dicuci sayuran hijau itu, namun tiba-tiba saja kepala berasa berat, seperti ada beban di atas kepalanya. "Aarghh!" Raida menjerit, sayuran yang ada di tangannya terlepas begitu saja. Di senderkan badannya itu pada tembok agar tidak ambrug begitu saja, sementara tangannya tetap menempel di kepala.

"Ya Allah, sakit sekali ... Mas Arvan ... astagfirullah." Raida terus merancau kesakitan, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa hanya dirinya saja. Ia berharap suaminya cepat pulang dari masjid.

Penglihatannya mulai memburam, rasa menusuk di kepala semakin menjadi dan dengan sekejap Raida ambruk, kegelapan menyergapnya.

Dan tepat saat itu suara derap langkah terdengar, semakin lama semakim dekat.

"Raida, ya Allah!" Pekik orang itu.

~•°•~

Hayo Raida kenapa coba?
Jawaban ada di bab selanjutnya.
Komen yuk dan vote oke, kalian harus tahu diri yakan^,^

Salam.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang