Langit malam begitu gelap gulita, suasana mencengkam ini begitu sempurna ketika sambaran petir seolah membelah cakrawala. Tak ada cahaya yang membius keindahan, hanya ada kesenyian berbalut kegelapan. Hingga langit menumpahkan hujan, bersamaan dengan itu air di pelupuk mata seorang gadis membasahi pipinya.
Gadis itu terus menadahkan tangannya di atas gelaran sajadahnya, melafalkan rangkaian doa kepada langit. "Ya Allah, bawalah kabar baik untuk hamba. Jagalah keluarga hamba dalam pelukan kasihmu. Ya rabb, jika hamba tidak bisa melihat permata kecilku tolong bawakan pelindung untuknya. Hanya kepada engkaulah hamba meminta, dan mengaduh. Amin."
Tiba-tiba saja rasa sakit menyeruak kembali ke kepalanya, Raida mengaduh dengan tangan kiri yang memegangi kepala dan tangan kanan membekap mulutnya agar tidak terdengar olah Lita-Bundanya.
"Astagfitullah, sakit sekali ...." lirihan gadis itu memecah suara derasnya hujan bersamaan dengan pecutan petir.
Kepalanya di tempelkan ke sajadah, dan terus mengucap istigfar dengan lirih. Air mata senentiasa berderai, bukan Raida lemah tapi ketika rasa sakit itu mendera bayangan Arvan ketika mengucapkan janji suci terulang kembali. Sakit, rasanya.
Hingga beberapa detik berlalu, Raida mulai mengangkat kepalanya yang sedikir mereda sakitnya. Segera ia mencari obat pereda yang di berikan Fahri siang tadi. Dengan dorongan air obat itu masuk ke lambung.
"Alhamdulillah." Tuturnya seraya menghembuskan nafas samar. Seujur kemudian, Raida membaringkn badannya di ranjang. Mungkin obatnya akan bekerja pada saat tidur.
Namun, baru beberapa menit ia menutup kelopak matanya. Tiba-tiba suara Lita membelai telinga. "Ada apa, Bun?" Sahut Raida seraya beranjak dari ranjangnya, lalu memakai kerudung instan yang ada di atas nakas.
"Ada yang ingin bertemu denganmu, ayo ke bawah." Raida hanya membalas dengan anggukan, ada rasa penasaran di hati kecilnya.
Segera gadis itu menuruni anak tangga dan menemui tamu itu di ruang tamu. Ada rasa membeluncah ketika melihat kedatangan seorang anggota prajurit di sana, mungkin saja ada kabar gembira dari Arvan, pikirnya.
"Hormat, Bu. Maaf saya mengganggu tidur anda. Saya ke mari ingin memberitahu tentang kapten Arvan."
Senyuman Raida tak terelakan lagi mendengar anggota itu mengucapkan nama suaminya, "ada kabar apa?"
"Izin jawab, Bu. Menurur info dari komandan, besok adalah kepulangan para tentara yang bertugas di Libanon."
"Alhamdulillah, terima kasih ya atas informasinya."
"Siap, Bu. Sudah menjadi tugas saya."
"Oh iya, mau minum dahulu?"
"Izin, Bu. Tidak perlu, saya harus kembali memberitahukan para anggota persit yang lain. Saya pamit, Bu. Assalamulaikum."
"Waalaikumsalam." Anggota tentara yang menjadi bawahan Arvan itu melanggang pergi. Meninggalkan Raida dengan kebahagiannya.
Tak lama kepergian anggota tentara tadi, Lita datang dengan sebuah nampan berisi minuman di tangannya. "Loh, tamunya mana?" Tanyanya, bingung.
"Sudah pulang, Bun. Dia hanya memberitahukan kabar kalo besok Mas Arvan akan kembali ke Indonesia."
"Oh, iya? Alhamdulillah, suamimu kembali dengan selamat." Ucap Lita seraya duduk di samping putrinya itu.
"Iya, Bun. Allah telah mengabulkan doaku."
Sebuah usapan halus di berikan Lita, wanita paruh baya itu tersenyum. "Allah maha baik, Allah maha adil. Sudah, kamu tidur gih biar besok tidak kesiangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
Ficción GeneralJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...