19:[Kejutan Takdir]

1.9K 92 0
                                    

Ketika tirai putih yang menutupi jendela di buka, sebuah cahaya mentari dan embusan udara pagi ini berlomba-lomba memenuhi ruangan. Sebuah pasang mata mengamati suasana pagi di luar lewat jendela, senyumannya mengembang sempurna, namun tampak jelas raut kerinduan di sorotan matanya.

Tepat dua hari berlalu tanpa hadirnya sosok yang dicintai, selama itu pun gadis itu bercerita pada malam tentang kerinduannya. Tidak ada kabar sedikitpun untuk gadis itu mengetahui kedaan dia. Lagi-lagi ia harus sabar, ia tak boleh egois.

Gadis itu melangkah kekamar mandinya untuk bersiap, karena melihat pagi akan terganti oleh teriknya siang hari. Kadang pekerjaannya menjadi pelampiasan gadis itu ketika kesepian melanda, namun ia tidak termasuk kedalam gila dalam bekerja ia masih tahu jam di mana ia akan istirahat.

Beberapa menit berlalu, Gadis itu sudah memakai pakaian dokter lengkapnya. Dengan mengucapkan bismilah dalam hati ia melangkah keluar kamar, menemui kedua orang tuanya yang sudah menunggunya sarapan.

"Eh, kamu sudah siap aja Raida," ujar Lita, wanita paruh baya yang sedang mengolesi roti dengan selai itu tersenyum hangat kepada gadis itu.

"Iya, Bun. Ada rapat antara dokter nanti, jadi disuruh datang pagi." Raida mendudukan dirinya di bangku.

"Mau bareng Ayah atau berangkat sendiri?" Kali ini yang bertanya ialah pria paruh baya yang ada di sampingnya, Darma.

"Barangkat sendiri saja. Takut nanti pulang agak sore."

"Jangan lupa kesehatan kamu ya, ingat apa pesan suami kamu. Harus jaga diri."

"Iya, Bun. Raida akan selalu ingat itu. Yasudah Raida pergi dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Seujur kemudain Raida memasuki mobil sedan putihnya dan melesat dengan kecepatan sedang.

~•°•~

Sasana serius mulai terasa di ruangan khusus rapat para dokter ini. Rapat akan di ketuai langsung oleh Dokter Gavin, selaku pendiri rumah sakit ini. Beliau boleh dikatakan semumuran dengan Ayah Raida, namun semangat dalam dirinya masih terlihat muda. Terbukti ketika di pembukaan acara rapat, beliau berbicara begitu tegas dan lantang sehingga semua dokter lantas menyimak baik-baik apa yang di bicarakan.

"Sementara untuk mempersingkat waktu saya akan berbicara langsung pada intinya. Jadi, saya akan mengirimkan tenaga medis ke Papua untuk membantu korban-korban yang ada di sana. Saya akan memilih siapa saja yang akan saya kirim untuk berugas di sana."

Raida mulai tertarik ketika mendengar daerah tersebut, ya di sana Arvan suaminya dengan bertugas juga.

"Dokter-dokter yang akan saya kirim ke sana ialah, dokter Wira selaku ahli THT, dokter Devi selaku ahli gizi , dokter Ervin selaku ahli bedah, dan terakhir dokter Raida selaku dokter umum."

Sorai tepuk tangan memenuhi ruangan, ini sebagai bentuk semangat kepada dokter-dokter yang akan bertugas di luar pulau.

Raida, gadis itu mematung setelah mendengar namanya disebutkan. Ada perasaan senang yang membeluncah, ia berharap di sana bisa melerai rindu dengan Arvan, sang prajurit yang setiap malamnya selalu menghantui pikirannya.

Namun, ya selalu ada kata namun untuk sebuah harapan. Ia tidak boleh terlalu berlebih dalam hal tersebut, karena mungkin saja tempat yang bertugas berbeda dengan Arvan, terlebih ini Papua yang pastinya luas.

"Selamat ya Raida. Semoga kamu bisa menjalankan tugas itu dengan baik." Gadis itu tersadar oleh ujaran seorang lelaki yang ada di sampingnya. Ya, dia Reyhan.

"Terima kasih, Dok. Amin." Raida membalas dengan senyuman sekilas dan singkat.

Selepas Dokter Gavin memberitahukan keberangkatannya nanti, lantas beberapa menit kemudain rapat ditutup. Mereka kembali pada tugas mereka di rumah sakit ini, yaitu mengobati pasien yang memang sudah menunggu di ruang antri.

Begitu pun dengan Raida, gadis itu dekat cekatan memanggil setiap pasiennya dibantu dengan seorang suster ia mengobati dengan ramah dan senyuman yang entah sejak kapan terukir.

~•°•~

Rembulan telah menduduki singahsananya dengan indah, seret bintang ikut menambah keindahan tersebut di kegelapan malam.

Kini Raida selesai melaksanakan sholat isya, gadis itu membereskan alat sholat kepada tempatnya kemudain melangkah keluar kamar untuk mengambil segelas air di dapur. Setelah bermurojaah begitu lama, tenggorokan Raida jadi kering sehingga membutuhkan air untuk sekedar membasahi.

Ketika sampai disana ia menemukan Lita dengan membuat sebuah kopi yang pastinya untuk Darma, suami perempuan paruh baya itu. Raida menyapa dengan senyuman, begitupun Bundanya itu.

"Belum tidur kamu, Ra?"

"Belum, Bun." Jawab Raida seraya menuangkan air kedalam gelas.

Namun, seketika ingatan Raida membawah gadis itu kepada rapat siang tadi. Ia lupa untuk memberitahu Lita pasal ini.

"Bun," panggil gadis itu yang lantas membuat lita menoleh, "iya?"

"Pada saat rapat tadi, Raida di pilih atasan untuk bertugas di Papua."

"Benar kah? Wah bagus kalo gitu, kamu bisa bertemu suamimu. Kapan berangkatnya?"

Raida menunduk, tanpa sadar Raida mengaminkan ucapan Lita tentang bertemunya dia di sana dengan Arvan, suaminya.

"Besok."

Lita tersenyum, lalu tangan kanannya mengelus pucuk kepala Raida yang terbalut kerudung. "Pergilah, ini tugas yang sangat mulia. Bunda izinkan."

"Terima kasih, Bun."

"Iya. Sudah gih tidur, dan bereskan perlengkapanmu untuk besok. Nanti Bunda akan kasih tahu Ayahmu, pasti dia senang mendengarnya."

"Iya Bun Raida ke kamar dahulu." Gadis itu menenggak habis air putih tersebut, lalu melangkah kembali kekamar seperti di perintahkan bundanya.

Di kamar Raida memandangi kopernya yang sudah siap, kemudain tatapannya beralih pada ponsel yang tergeletak di nakas. Ingin sekali ia memberitahu kabar ini pada Arvan, namun ia mengerti di sana pasti tidak ada sinyal dan juga lelaki itu pasti sibuk. Oleh karena itu, sejak dua hari yang lalu Raida tidak pernah menelpon dahulu, jadilah mereka menjalani sebuah hubungan tanpa kabar. Namun, selalu ada doa yang senantiasa membuat mereka seperti saling berdekatan.

Gadis itu mendudukan diri di shofa yang tak jauh dari ranjang, tangannya mengambil sebuah buku diary pemberian Sesil.

Penanya mulai menari menyusun kata demi kata.

Jarak ini begitu menyiksaku, namun jarak ini mampu menjadikanku wanita tangguh. Aku bangga melihat kamu berjuang atas nama negara, menyelamatkan nyawa untuk tetap hidup, walaupun aku tidak bisa bersamamu di dalam perjuangan tersebut. Akan tetapi, kini sepertinya takdir sedang memberiku tantangan. Ya, takdir menyuruhku menemanimu untuk berjuang menyelamatkan mereka di bumi pertiwi ini.

Bersama melakukan kebaikan, bersama dalam medan kesulitan, ah sungguh tidak pernah terbayang olehku.

Ini adalah sebuah kejutan dari tuhan untuk diriku yang selama ini melangitkan namamu karena sebuah alasan yaitu, Rindu.

Bogor, 15 Mei 2015.
Tertanda: Raida.

Ditutupnya buku itu, dan kemudian mendekapnya dengan erat. Ini malam terakhirnya dalam merindukannya, besok Raida akan bertemu dengannya, mungkin.

"Terima kasih ...." gumamnya pada langit malam.

~•°•~

Bertemu kembali, bagaimana dengan bab ini?

Udah gatel ini pengen buat konflik:v

Salam.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang