Cerita takdir ini tak selamanya berakhir, akan tetapi ada masanya keabadian datang menjadi alur di dalamnya.
-Dear My Army-Semburat cahaya mentari membius angkasa pagi ini, aroma tanah yang ternodai air hujan masih membelai hidung. Banyak ucapan syukur yang diberikan umat kepada sang pencipta atas nikmat pagi ini.
Pagi ini pun sepertinya menjadi alasan mengapa kebahagian tampak betah di keluarga kecil yang sembentar lagi akan sempurna anggotanya. Ya, Raida dan Arvan. Sosok calon orang tua yang begitu kedatangan sang pelita kecilnya itu. Tepat, kini sesudah sarapan Arvan mengajak Raida untuk ke rumah sakit hanya melihat anak mereka berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sebenarnya mereka mau menyimpan rahasia itu saja nanti, namun ini semua atas permintaan para calon nenek dan kakek. Ya, siapa lagi kalo bukan kedua orang tua Arvan dan Raida.
Setelah siap, mereka lantas meluncur menggunakan mobil Arvan yang sudah lama tam dipakai semenjak sang pemilik pergi bertugas. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan, karena aktivitas jalan raya terlampau lengang kali ini.
Langsung saja mereka menemui Fahri selaku dokter kandungan untuk Raida. Kedua lelaki itu sempat saling berbicara ringan, mungkin sudah lama tak berjumpa.
Ketika alat USG di tempelkan ke perut Raida, tampak di monitor bayi kecilnya yang tengah bergerak aktif. Raida dan Arvan sangat terharu melihatnya, banyak ucapan syukur terlontar.
"Bayi kalian sepertinya perempuan." Pernyataan Fahri semakin menambah rasa haru. Senyuman keduanya terketra jelas sekali.
"Selamat ya. Sepertinya kamu akan memiliki dua perempuan yang harus kamu jaga, Van," tutur Fahri.
"Ah, iya. Tugasku semakin berat saja, namun aku senang dan bersyukur sekali."
Fahri tersenyum, manik matanya melihat sekilah ke arah Raida dengan tatapan penuh rasa iba. Lelaki itu salut dengan Raida yang benar-benar mengorbankan nyawa demi anak yang di kandungnya.
"Kamu juga selamat ya atas lamarannya dengan Rerey." Arvan memang sudah tahu semuanya dari Raida yang bercerita tentang Fahri dan Rerey yang akan melangsungkan pernikahan akhir bulan ini.
"Kamu sama Raida harus datang loh, ya."
"Iya, tenang aja." Raida hanya tersenyum saja, ia tidak akan menimbrug pembicaraan antar sahabat ini.
"Kalo begitu, kami pamit dulu ya. Asslamualikum."
"Waalaikumsalam."
Arvan dan Raida melanggang pergi meninggalkan rumah sakit, genggaman tangan lelaki itu tak terlepas sejak tadi. Ada perasaan hangat dan perih yang dirasakan Raida. Apakah ia harus melanjutkan kebohongan ini? Pertanyaan ini selalu saja terulang di benaknya. Ia rasa belum ada waktu yang pas untuk menyeruakan tentang penyakit yang dideritanya kini.
~•°•~
Sebelum pulang, Arvan memberhentikan mobilnya di sebuah masjid raya Bogor. Rumah Allah yang penuh kesucian dan keagungan, tempat itu tak pernah sepi oleh umat yang sekedar memanjatkan doa kepada sang pencipta.
Kebetulan sekali ketika Arvan dan Raida ke sana, azan zuhur berkumandang. Lantas mereka ke tempat wudhu masing-masing untuk mensucikan diri sebelum menghadap sang maha agung.
Banyak shaf laki-laki yang terisi penuh, tapi tidak dengan shaf perempuan. Mungkin karena mereka memilih mengerjakan sholat di rumah, sesuai perintah nabi.
Raida telah siap memakai mungkenanya, ketika ikhomah dikumandangakan. Tanda sholat akan dimulai. Keheningan yang tersa menyamankan hati tiba-tiba menyeruak, ada kelegaan terendiri ketika kita mengadu kepada sang pemilik hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...