17:[Cemburunya Sang Prajurit]

2.3K 106 3
                                    

Kamu milikku, dan aku milikmu. Itu sudah terikat atas nama cinta, dan semesta menjadi saksi akan awal semuanya.

[Arvan Elfahrizi Umar]

~•°•~

Kota Bogor menyambut kedatangan mereka kembali, kemacetan harus di lalui lagi, keramian akan menjadi ritme sehari-hari lagi.

Raida dan Arvan masih tinggal di rumah Lita, karena mereka belum mendapatkan rumah dinas untuk saat ini. Semua aktivitas rumah berjalan dengan semestinya, bahkan Raida telah kembali pada dunia kedokterannya. Semua atas izin Arvan tentunya, tidak mudah Raida untuk mendapatkan izin, namun akhirnya lelaki itu luluh asalkan satu syarat yaitu Raida tidak boleh kerja jika malam dan itu sudah di sanggupi oleh Raida sendiri.

Di pagi yang lumayan terlihat mendung, Raida sangat sibuk mempersiapkan baju kerjanya ataupun sang suami. Dan kini pun Raida harus mengerjakan semua pekerjaan rumah secara sendiri, karena kedua orang tuanya pergi menyambangi villa di Bandung. Raida sebenarnya ingin ikut, namun tugas Arvan di sini tidak bisa ditinggalkan begitupun Raida.

"Nanti pulang hubungin Mas loh ya."

"Emang kamu pulang sore, Mas?"

"Iya, cuma gantian jaga kantor pusat saja."

Raida mengangguk seraya mengisi piring Arvan dengan roti yang sudah dioleskan selai kacang. Kemudian tak ada lagi pembicaraan, mereka sama-sama menikmati sarapan mereka.

Hingga selesai, Arvan bersiap memakai sepatunya begitupun Raida yang memakai almamaternya. Bila di sandingkan mereka seperti tokoh yang ada di film Korea tentang perjurit yang jatuh cinta pada seorang dokter. Ya, kisahnya sama memang.

Setelah mengunci pintu, mereka memasuki mobil dan melesat meninggalkan rumah tanpa penghuninya sekarang.

~•°•~

Sore hari ini terlihat bersedih, air-air menderai turun dari langit. Sang senja tidak hadir di angkasa seperti biasa. Tepat saat, ini Raida sudah menyelesaikan tugasnya memberikan penyembuhan pada pasien. Gadis itu bersiap-siap untuk pulang.

Diluar gedung rumah sakit terlihat hujan semakin deras, gadis itu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Arvan. Namun ternyata ponselnya itu mati akibat batrainya sudah habis. Raida menghela nafas.

Ingin mengisi daya di tempat repsesionis, tapi ia urungkan karena tidak mungkin Raida mengganggu mereka yang sedang bekerja. Terlebih banyak pasien yang berdatangan walaupun hujan sekalipun. Jika sudah begini, terpaksalah Raida menunggu hujan reda.

Gadis itu mendudukan dirinya di kursi tempat menunggu pasien, terlihat beberapa dokter yang sudah bertugas berlalu lalang ke parkiran. Andai saja ia membawa kendaraan kemari.

"Dokter, Raida?" Mendengar namanya di panggil gadia itu menoleh. "Ya, dokter Rayhan?" Sahut Raida. Terlihat lelaki berkacamata itu sudah kemas untuk pulang.

"Sedang menunggu jemputan kah?"

"Tidak. Hanya menunggu hujan berhenti."

"Akan lama untuk berhenti, mari saya antar pulang."

"Tidak usah," tolak Raida secara halus. Entah mengapa ada hal yang membuat gadis itu menolak.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang