Sekitar pukul tujuh pagi, tepat sang mentari akan menduduki singgah sananya. Mobil travel yang mengantarkan para dokter ke tempat bencana kebakaran hutan di Papua. Bagian belakang bagasi mobil penuh akan obat-obatan dan alat medis lainnya, semua yang dibutuhkan telah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit.
Di dalam mobil hanya ada obrolan dokter Wira dan supir tentang jalan yang akan dilalui, setelah tadi menaiki pesawat mereka pun harus melewati jalur darat lagi karena letak hutan begitu pedalaman. Sedangkan dokter yang lainnya hanya menyimak, karena tidak ada bisa yang dilakukan diperjalanan terlebih sinyal mulai menghilang.
"Ah, nyebelin masa gak ada sinyal," dengkus Devi, seorang dokter gizi. Sedangkan gadis yang ada di sampingnya, hanya sibuk melihat pemandangan hutan yang tersisa di luar jendela mobil. Adapun dokter Ervin yang mulai terlelap dalam tidurnya, mungkin karena efek perjalanan jauh.
"Dokter Raida, aku denger di sana ada para anggota TNI ya? Ah, kamu enak sekali bisa bertemu dengan suamimu," ujar Devi yang membuat si empunya nama menoleh dan tersenyum samar.
"Aku tidak tahu kita akan satu pos penyelamatan atau tidak."
"Ah, iya aku lupa kalo ada beberapa pos penyelamatan." Tuturnya Devi seraya memberikan cengiran kudanya.
Raida menghela nafas lirih, ia harus fokus pada tujuan awalnya kemari. Ada banyak korban-korban yang membutuhkan jasanya saat ini, ia tidak boleh egois hanya untuk sebuah pertemuan.
Beberapa menit melajukan mobil dengan medan yang lumayan terjal, akhirnya mereka sampai dengan selamat di pos penyelamatan satu. Raida berucap syukur dalam hatinya dan segera turun mobil membantu mengeluarkan alat-alat medis bersama yang lain.
Gadis itu menatap daerah sekitar yang memang terlihat beberapa kepulan asap, tanah begitu gersang, dan langit tak lagi biru. Tidak ada lagi udara bersih di sini, sehingga sebelum tadi turun dokter Wira membagikan masker sebagai penanganan agar tidak terjadi sesak nafas.
Ketika mereka sudah memasuki daerah pedesaan, ya pos pertama memang ada di daerah pedesaan. Banyak anak-anak berambut ikal menyambut dengan senyuman yang penuh harapan. Ingin sekali Raida menitihkan air mata saat itu juga, tapi ia tahan karena alasan hati.
Terlihat di tenda pos penyelamatan ada banyak tentara berseragam loreng yang menyambut mereka, Raida rasa suaminya tidak ada di situ dan gadis itu hanya tersenyum saja.
"Salamat datang, terima kasih sudah mau datang ikut berpartisifasi. Saya harap kedatangan para dokter mampu mengurangi korban yang ada di sini," ujar salah satu tentara yang Raida rasa itu komandonnya."Iya, Pak. Semoga saja." Wira mewakili suara kami, ia tunjuk sebagai ketua medis.
"Mari tendanya ada di sana." Setelah dipersilahkan kami lantas ke tenda putih itu, dan menyimpan rapih obat-obatan serta alat medis lainnya.
"Tugas kita akan di mulai sekarang, jadi saya harap kalian bisa fokus dan menjalani semuanya dengan ikhlas. Ada banyak nyawa yang harus kita selamatkan. Sebelum dimulai mari kita berdoa terlebih dahulu, berdoa dimulai." Komando Wira lantas di turuti oleh dokter yang lain, termasuk Raida.
"Selesai, selamat bertugas dan semangat!" Tegas Wira.
Dan pada saat itu pun para warga datang dengan keluhan masing-masing, dalam hal ini yang harus sabar ialah Raida karena banyak pasien anak-anak yang harus ia tangani. Ada kesenangan tersendiri ketika melihat para warga tersenyum setelah di obati.
Kegiatan pemeriksaan itu terhenti sejenak ketika sudah memasuki waktu zuhur serta asar, itu pun mereka sholat dengan bergantian saking banyaknya pasien. Hingga sore menjelang malam, pasokan obat di kirim kembali ke posko oleh mobil travel tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...