Sinar mentari yang menelusuk cela-cela jendela mampu membangunkan Raida dari tidurnya. Ketika mata terbuka, yang dilihat pertamanya ialah seorang laki-laki dengan wajah tenangnya. Raida tersenyum, tanganya mengelus pelan pipi lelaki itu.
"Mas ...." panggil Raida, sehingga membuat lelaki itu menggeliat dan semakin mengertakan pelukannya terhadap tubuh Raida kini.
"Bangun, sudah pagi," bisiknya tepat di telinga lelaki itu. Dan benar saja cara itu mampu membuat lelaki itu bangun, "morning!" Serunya.
"Morning, dear." Lelaki bernama Arvan itu menyahut tanpa melepaskan pelukannya itu.
"Sampai kapan begini terus, ayo bangun!" Akhirnya intruksi Raida langsung membuat pelukan Arvan lepas. "Iya, iya humairahnya Mas." Dengan wajah datar Arvan beranjak ke kamar mandi, meninggalkan Raida dengan pipi bersemu merahnya. Ada rasa tersendiri ketika lelaki itu memanggilnya 'humairah'.
Usai bersih-bersih badan, mereka berdua menuruni anak tangga dan lantas ke ruangan makan untuk sarapan. Raida membantu Lulu dengan sedikit menyiapkan makanan ke meja makan. Ini semua gara-gara Arvan yang tidak membangunkannya, jadi telat untuk membantu Lulu masak sarapan.
"Kalian di sini berapa hari, Van?" Tanya Lulu seraya menyuap sesendok nasi goreng kedalam mulutnya.
"Dua hari, Ma," jawab Arvan di sela-sela suapannya.
"Yasudah, habiskan saja waktu berdua kalian di sini itung-itung bulan madu. Mama sama Papa ada acara diluar hari ini."
"Kapan pulangnya?"
"Besok paling, sekalian nanti jemput Sesil di rumah temannya."
Raida menoleh ketika Lulu mengucapkan nama Sesil, senyumannya tak terbendung lagi. Ia begitu rindu pada wanita yang kini sudah menjadi adik iparnya itu. Iya, Sesil ialah adik kandung dari Arvan. Memang ketika pernikahan Raida berlangsung waktu itu, Sesil hanya hadir sebentar tidak bisa menginap di rumah Raida karena sedang berlangsungnya ujian. Kini wanita itu menginjak kelas tiga SMA, jadi wajarlah jika hubungan Raida dan Sesil seperti halnya seorang sahabat ataupun adik kakak.
"Pasti rumah jadi rame kalo tuh anak pulang,"celukutuk Arvan yang langsung mendapat tatapan tajam dari Lulu.
~•°•~
Waktu masih menunjukan pukul tujuh, itu artinya mentari belum sampai pada puncaknya. Namun, Raida sudah di ajak Arvan untuk jalan-jalan, entah mau kemana.
"Masih pagi ini loh, Mas. Mau kemana sih?"
Tidak ada jawaban dari Arvan, lelaki itu masih setiap terhadap jalanan. Merasa di acuhkan, Raida pun sama demikian ia mengalihkan tatapanya pada jendela mobil.
Sungguh menyebalkan!-batinnya.
Hingga beberapa menit melewati jalanan denga keheningan yang amat akut itu, mobil mereka akhirnya berhenti di sebuah pusat perbelanjaan. Raida masih bungkam dan tetap pada posisinya, sedangkan Arvan sudah keluar mobil seraya berlari membukan pintu untuk sang tuan putri katanya.
"Udah dong ngambeknya. Ayo turun." Bujukan Arvan tidak mempan kali ini, entah mengapa Raida menjadi manja.
"Nanti di dalem Mas belikan es krim. Janji!" Dan ya, bujuan eskrim yang dilontarkan Arvam berhasil jua. Raida keluar mobil, namun dengan wajah masih sama. Datar.
Mereka berjalan beringan memasuki sebuah gedung besar itu. Untuk pertama Arvan menyambangi terlebih dahulu kedai es krim, dan lantas membeli dua es krim rasa coklat. Raida pun tersenyum ketika menerima es krim tersebut. Arvan senang gadisnya itu kembali tersenyum dengan hal yang sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...