Satu bulan telah berlalu, entah sudah berapa kebahagian dan tawa tercipta di dalam rumah tangga kecil ini. Semenjak kabar ke hamilan itu, Raida merasa menjadi seorang ratu, ya Arvan selalu memanjakannya padahal ia mengidam tidak separah ibu-ibu hamil yang lain. Seperti salah satu contohnya, ketika Raida membangunkan suaminya itu tengah malam untuk sholat malam berjamaah, hanya itu yang Raida inginkan, masyaallah.
Jika bicara soal pekerjaan Raida sebagai dokter, kini gadis itu sudah memutuskan berhenti karena itu sudah menjadi keputusan mereka berdua dan sebagai gantinya Arvan mengizinkan Raida aktif dalam kegiatan medis yang sering dilakukan oleh para ibu-ibu persit. Namun, entah mengapa akhir-akhir ini mudah lelah jadi ia mengikut kegiatan yang penting saja dan itu pun sudah di maklumi para ibu-ibu lainnya.
Seperti sekarang, di kala senja sebentar lagi menyapa langitnya, Raida terduduk di bangku yang telah di sediakan di lapangan. Kini ia mengikuti acara olahraga tenis bersama, akan tetapi baru babak awal gadis itu sudah kelelahan terpaksa ia mendudukan diri.
"Izin, Bu. Jika Ibu sangat lelah, tak apa Ibu pulang saja," ucap Rena.
"Tidak apa-apa, saya masih ingin mengikuti kegiatannya, lagian di rumah mah bosen."
"Izin, Bu. Saya baru menemukan bumil seperti ini." Tuturnya seraya terkekeh, begitupun Raida.
"Mari kelapangan kembali, saya rasa tubuh saya sudah tidak lelah." Raida dengan semangat kembali kelapangan bergabung dengan yang lain, sama halnya Rena yang menggeleng melihat tingkah temannya. Ya, Raida adalah temannya.
~•°•~
Hari sudah menunjukan malam, itu saatnya waktu untuk beristirahat setiap makhluk bumi telah tiba. Termasuk kedua pasangan ini, mereka begitu lelah dengan kegiatannya masing-masing oleh karena itu sesudah menunaikan sholat isya, mereka berniat melelapkan diri dalam buaian mimpi indah.
Kendati, ada sesuatu yang mengganggu tidur seorang gadis yang ada di samping Arvan. Ya, dia Raida. Tampak sekali gadis itu merubah posisi tidurnya dengan gusar. Padahal rasa kantuk sudah menyergapnya, akan tetapi seolah ada sesuatu yang menganggu Raida. Ia seperti ingin sesuatu, tapi apakah ia harus membangunkan Arvan? Rasanya tidak tega.
"Mas." Ucap akhirnya seraya menyentuh pelan lengan sang suami.
"Hm." Raida tersenyum mendengar jawaban Arvan, walaupun hanya gumaman tapi setidaknya lelaki itu belum terbuai mimpi.
"Adek menginginkan sesuatu."
Lantas kelopak mata Arvan yang awalnya tertutup kini terbuka, sangat berat memang menahan kantuk yang mendera. "Apa?" Tanya Arvan seraya merubah posisi menjadi menghadap ke arah Raida.
"Adek mau rujak, tapi ...." Arvan mengerutkan dahi, menunggu lanjutan bicara Raida yang tertahan. "Tapi Adek mau Mas yang buatnya."
"Kalo gak mau juga gak apa-apa. Adek aja yang buat sendiri, Mas tidur saja," sergah Raida. Ia tak ingin memaksa Arvan, karena dia tahu lelaki itu pasti sangat lelah dengan latihan rutinan penembakan tadi siang.
Sebelum Raida beranjak, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menahannya. Ya, itu tangan Arvan. "Mas, akan membuatkannya. Ayok." Hingga sebuah senyuman manis dari bibir Raida terukir ketika mendengar ucapan Arvan.
Di dapur Arvan lantas mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat rujak sesuai apa yang di intruksikan Raida. Walaupun gadis itu meminta Arvan membuatkan rujak sendiri, tapi Raida pun harus ambil ahli soal mengintruksikan bumbu yang pas.
Tak butuh waktu lama sebuah rujak buah sudah tersaji dihadapan Raida. Sangat menggugah selera bagi ibu hamil sepertinya. "Adek makan ya." Tuturnya seraya melahapkan buah yang sudah teroles sambal. Tidak ada kata yang di ucapkan Raida lagi, mungkin saja gadis itu begitu menikmati rujak buatan Arvan.
Arvan yang melihatnya hanya tersenyum, ia tidak kesal bila dibangunkan malam-malam untuk memenuhi ngidam istrinya itu malah dia senang. Lelaki itu tahu sekarang posisi papanya dulu ketika Lulu mengandung adiknya, Sesil.
"Dek." Panggilan Arvan lantas mendapat tolehan dari Raida. "Mas, mau bicara serius sama Adek. Tolong denger ya."
Terlihat raut wajah bingung dari gadis tersebut, "bicara apa?" Raida melanjutkan kembali kegiatan makan rujaknya.
"Lusa, Mas akan di tugaskan ke Libanon."
Deg!
Sontak saja kegitan Raida terhenti, tatapannya menatap wajah Arvan begitu lekat. Ada rasa ketidakrelaan iti terulang kembali ketika mendengar kata tugas. Ya Allah, haruskah ia melepaskan kembali pada saat gadis itu sangat membutuhkan sosok suami di sampingnya?
"Dek, Mas tahu ini sangat sulit buat Adek melepas Mas kembali. Tapi, tolong Adek ingat kata-kata Mas pada saat awal pernikahan kita dulu. Mas telah di sumpah untuk menjaga NKRI ini. Di sana, banyak mereka yang membutuhkan Mas untuk terbebas dari ketidakadilan."
Raida masih diam, ia masih syok atas apa yang di beritahukan Arvan. Gadis itu tahu di Libanon masih banyak teroris menguasai daerah tersebut. Hal itulah yang membuat Raida sangat berat melepas Arvan, ia takut hal yang tidak-tidak terjadi pada suaminya. Astagfirulllah, Raida telah bersouzon.
"Dek. Izinkan Mas untuk pergi ke sana. Mas pergi dengan niat berjihad, jika pun Mas kembali dengan nama saja Mas akan menantimu di surga."
Mendengar pernyataan tersebut berhasil membuat air mata Raida mengalir tanpa komando. Lantas Arvan beranjak untuk duduk di samping gadis tersebut dan mendekapnya. "Mas ti-dak bo-leh bicara seperti itu. Mas harus jan-ji akan kembali." Dengan segukan Raida berbicara.
"Insyaallah. Doakan Mas selalu ya, agar bisa mengazani anak kita." Tangan Arvan perhalan mengelus perut Raida yang sedikit membuncit.
"Adek izinkan Mas untuk pergi. Kembalilah dengan membawa kabar baik untuk negaramu ini." Senyuman Arvan mengembang sempurna, ia lega sekali. Setelah ini ia bisa menjalankan tugas dengan tenang, karena istrinya sudah memberikan ridho serta doa yang terus tercurah.
"Terima kasih, Sayang." Lelaki itu mengecup atas kepala Raida, lalu melonggarkan pelukannya untuk menghapus jejak air mata yang ada di pipi mulus gadis tersebut. "Sudah jangan menangis lagi. Habiskan rujaknya, lalu kita tidur." Raida mengangguk patuh, ia melanjutkan kembali kegiatan makan rujaknya.
"Nanti Bunda akan menemanimu di sini sementara Mas tak ada di sampingmu."
"Trus Ayah gimana? Sendirian dong."
"Kan Ayah ditugaskan ke luar kota."
"Oh iya, Adek lupa. Tapi kan Mas, memang boleh warga sipil tinggal di sini dalam waktu lama?"
"Tenang nanti biar Mas yang bicara pada komandan."
"Oh, oke!" Tuturnya seraya melahap buah terakhir, lalu membawa piring bekas itu ke westafel. Usai semua beres, mereka kembali ke kamar untuk melanjutkan mimpi mereka yang tertunda karena permintaan sang jabang bayi.
"I love you." Arvan mengecup kening Raida sebelum mereka menutup kelopak mata masing-masing.
"I love you more to," sahut Raida. Hal itu membuat Arvan tersenyum seraya mendekap Raida dan terlelap secara bersama-sama.
Kali ini semesta dipersilahkan untuk cemburu pada kedua insan ini.
~•°•~
Hey, kembali lagi kita.
Untuk para jomblo di persilahkan cemburu, tapi jangan sampai menyalahkan autrhor ya wkwk:vSalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...