Satu bulan berlalu ...
Manik mata coklatnya menatap lurus ke hadapan cermin, rasa sakit di kepala masih mendera sehingga tanpa sadar gadis itu memejamkan matanya seraya tangan yang mencengkam erat gamis yang di kenakan. Pagi hari ini tepat sebulan kepergian Arvan, Raida akan mengunjungi rumah sakit seperti biasa untuk mengecek kondisi janinnya yang sudah membesar.
Namun, kini di saat Raida melihat penampilannya di cermin tiba-tiba rasa sakit di kepala yang sering menderanya akhir-akhir ini kembali kambuh. Selama ini Raida pikir sakitnya hanya sementara, namun sekarang gadis itu akan sekalian menanyakan sakit di kepalanya pada saat ke rumah sakit nanti. Ia lelah, menahan sakit ini sendirian.
Setelah rasa sakitnya mulai menghilang, Raida bangkit dan lantas mengambil tas selempangnya. Ia akan pergi ke rumah sakit tanpa Lita, karena bundanya itu sedang ada urusan di kantor sang ayah. Dengan menaiki kendaraan online, gadis itu pergi.
Menempuh perjalanan beberapa menit untuk ke rumah sakit tujuan Raida. Kini, gadis itu berjalan ke arah bagian resepsionis untuk bertanya.
"Assalamualikum, Sus. Saya ingin bertanya, apakah dokter Fahri sedang ada tugas hari ini?""Ada, Bu."
"Terima kasih, Sus."
Raida melangkah ke ruangan dokter muda yang pernah melamarnya waktu itu. Ya, kepada Fahri lah Raida rutin memeriksa kandungannya. Lelaki itu sudah tidak menjadi dosen, ia memilih mengabdi pada rumah sakit. Hubungan mereka sudah seperti saudara dan sahabat, mereka seolah melupakan masa lalu yang sangat pahit bagi Fahri. Keduanya sepakat untuk berdamai dengan hati yang ikhlas, melanjutkan hidup masing-masing tanpa ada sebuah nestapa.
Langkah Raida terhenti ketika matanya lebih dahulu menangkap sosok dokter muda itu, ia lantas memanggil dan orang itu menoleh. Segera gadis itu menghampirinya.
"Baru datang?" Tanya Fahri."Iya, baru juga ingin ke ruangan, Bapak."
"Yasudah, mari kita mulai periksa."
Raida dan Fahri bersama jalan beriringan, mereka saling diam tak banyak bicara karena keduanya tahu batas kedekatan seorang muslim yang bukan mahram.
"Silahkan duduk." Mereka sudah sampai diruangan kerja Fahri, lantas Raida duduk sesuai permintaan lelaki itu.
"Apa keluhanmu selama beberapa minggu ini?"
Raida mulai menjelaskan apa yang di alaminya selama sepekan, dan tak lupa ia menyatakan soal rasa sakit yang menyerang kepalanya sejak awal kehamilan. Wajah Fahri berubah serius ketika bagian hal itu, ada sedikit rasa kaget di wajahnya.
"Kenapa baru bilang tentang rasa sakit itu? Mari, saya ronsen kepalamu supaya jelas." Dengan nada tegas Fahri mengintruksi. Raida tahu, dia salah menyembunyikan sakit nya ini.
Setelah mereka melakukan ronsen, cukup lama memang menunggu hasilnya tapi Raida tetap menunggu karena ia penasaran. Hingga degup jantung Raida berdetak tak karuan ketika Fahri memegang hasil ronsen dengan tampang tak bisa di baca.
"Raida, kamu harus tabah ya ketika mendengar hasilnya."
Rasa penasaran Raida semakin menggebu, "insyaallah, Pak."
"Hasil ronsen menemukan bahwa kamu terdiagnosa kanker otak setadium lanjut."
Deg.
Di situlah petir dan gemuruh dasyat mebentur hati Raida, semua tampak berhenti seketika, pikirannya kalut tak terkendali. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui hal itu?
Ini ujian apa lagi ya rabb-batinnya.
Bayangan Arvan serta bayinya tiba-tiba menghantui otak Raida. Ini terasa menyesakan sekali, kepalanya pun terasa berdenyut kembali namun kali ini lebih ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...