Pertumpahan air mata terjadi di lapangan luas ini, terlihat mereka memeluk orang yang disayang dengan harap akan kembali pada dekapan itu kembali. Para wanita berbaju hijau itu tersenyum tegar, padahal hatinya merintih akan kepergian orang terkasih.
Raida, gadis itu terdiam memandang pemandangan di hadapannya. Ia belum menemui Arvan, apakah hatinya siap melepas lelaki itu kembali untuk pengabdian negara. Ya Allah, tegarkan hatinya. Raida memejamkan mata seraya membuang nafas lirih, kemudian gadis itu mencari keberadaan Arvan suaminya diantara lautan para prajurit.
Hingga langkahnya terhenti, pandangannya kosong ketika melihat sosok itu. Dia, Arvan tengah berbicara pada anggota lainnya. Bolehkan Raida menangis sekarang? Sekuatnya Raida, namun kini gadis itu rapuh.
"Mas, Arvan ...." panggilan lirih Raida mampu membuat lelaki itu menoleh dan lantas menghampirinya.
Raida tersenyum bangga melihat penampilan suaminya kini, tangisannya masih saja tertahan. "Lakukan tugas dengan baik ya, jangan lupa sertai doa." Hanya itu saja yang keluar dari bibir gadis itu.
Tanpa aba-aba Arvan mendekap Raida dengan erat, dan saat itulah tangisan Raida pecah. Ketegarannya runtuh seketika, jujur ini sangat berat sekali di lalui.
"Ikhlaskan Mas bila tidak bisa mengazani anak kita, Mas titip salam buat anak kita bila sudah lahir.""Mas jangan bicara seperti itu, jangan berhusnuzon dahulu sebelum Allah bertindak. Adek akan menunggu Mas kembali di sini." Raida melerai dekepan itu, dan tersenyum dengan air mata yang setia mengalir.
Kini tatapan Arvan beralih pada perut buncit Raida, lelaki itu berjongkok dan membelai lembut perut Raida. "Abi pamit ya, Sayang. Jangan ngerepotin Umimu. Doakan Abi agar bisa mendengar tangisanmu untuk pertama kalinya."
Cup.
Arvan mengecut sekilas, dan kembali lagi pada posisinya menjadi tegak. "Berikan Mas senyumanmu di waktu terakhir ini." Permintaan Arvan lantas di wujudkan, Raida tersenyum sendu.
"Mas berangkat, Assalamualaikum." Lelaki itu mengecup kening Raida begitu lama, kemudian setelah itu Raida membalas dengan kecupan di punggung tangan.
"Waalaikumsalam, ya habibi."
Keduanya memberikan senyuman termanisnya. Perlahan tapi pasti Arvan melenggang pergi meninggalkan Raida dengan segala doa yang tercurah di hatinya.
Arvan beserta anggota lain mulai menaiki pesawat, di saat itu pula Raida memberikan lambaian tangan seperti para persit lainnya.
~•°•~
Sore telah menyapa daerah asrama kali ini, semburat cahaya jingga seolah menaungi bumi. Keindahan yang maha pencipta membuat siapa saja selalu bersuyukur bila melihatnya, termasuk Raida. Kini gadis itu duduk di kursi teras hanya untuk melihat sang mentari terbenam, mungkin ini bisa menghibur hatinya di kala kepergian Arvan beberapa jam yang lalu. Raida sudah berlapang dada melepas suaminya itu, biarlah doanya yang senantiasa melindungi para prajurit yang tengah berjuang demi ketidakadilan.
Bila masanya Raida dan Arvan harus berpisah, gadis itu akan ikhlas menerima kenyataan takdir Allah. Karena Raida percaya, sebaik-baiknya penulis lebih baik lagi Allah sang penulis takdir. Rencananya tak pernah salah.
"Raida, bentar lagi magrib. Ayo masuk, bersiap-siaplah untuk sholat." Seruan wanita paruh baya yang ada di dalam rumah membuat Raida terheyak dari lamunannya. Ia sampai melupakan kalo dia tidak tinggal di rumah dinas sendirian, tapi ada Lita-bundanya yang kemarin di jemput langsung oleh Arvan.
"Iya, Bun." Gadis itu beranjak ke dalam, meninggalkan senja yang lantas menghilang di angkasa.
Beberapa menit setelah Raida membersihkan badan, suara azan magrib berkumandang begitu merdu dan menyejukan hati. Lantas Raida dan Lita menggelarkan sajadah dan menunaikan ibadah secara berjama'ah.
Percayalah, dalam sujudnya Raida selalu mengucapkan rentetan doa untuk Arvan di sana. Dengan harap doa itu terdengar oleh sang langit lewat bisikan pada bumi.
Sudah tiga rakaat di laksanakan, kini Raida mencium punggung tangan Lita dengan takzim. Dilanjutkan membaca surat al-kahfi bersama. Di situlah tangis Raida pecah secara tiba-tiba, hatinya seolah berseru pada malam. Lita yang melihat lantas memeluk, dan berbisik, "istigfar, Nak. Yakin pada takdir Allah. Doakan suamimu di sana."
Raida mengikuti intruksi bundanya, ia beristigfar dalam hatinya. Setelah ini ia tak akan menangis lagi, ia harus ingat kata-kata Arvan. Terlebih ada sebuah nyawa yang dikandungnya, gadis itu tidak ingin anaknya yang ada di dalam perut mendengar tangisan cengeng uminya.
"Kita lanjut murojaahnya, ya. Biar anakmu ini mendengar dan insyaallah menjadi seorang hafiz atau hafizah."
"Amin."
Mereka pun melanjutkan kegiatan murojaahnya dengan khusyu. Kesunyian malam seolah terhibur akan suara indah nan syahdu itu.
~•°•~
Hari ini para ibu-ibu persit mengadakan seminar tentang hati seorang istri, sepertinya ini cocok untuk Raida. Lantas gadis itu dengan semangat pergi menghadiri seminar tersebut di aula gedung persit. Setelah tadi berpamitan kepada Lita, Raida melongsong pergi dengan harapan membawa sebuah ilmu yang bermanfaat.
Tiba di sana, ternyata para anggora persit yang sudah menempati bangku yang telah di sediakan. Mata Raida menangkap sosok wanita yang pertama kali mengajaknya kenalan, ya itu Rena istri dari sahabat Arvan.
Segera Raida menghampirinya dan duduk di kursi sebelah yang kosong. "Assalamualikum, Mbak Rena." Salamnya lantas di sambut senyuman ayu seorang Rena.
"Waalaikumsalam. Eh, Mbak Raida datang juga?"
"Iya, seru kayanya seminar ini."
"Izin Mbak, memang seru Mbak. Izin lagi Mbak, apa Mbak sudah dapat kabar dari kapten Arvan?"
"Tidak ada, mungkin tidak ada sinyal atau sedang sibuk."
"Izin Mbak, iya mungkin. Kita di sini hanya berdoa saja ya."
Raida tersenyum begitupun Rena. Wanita itu seperti sudah biasa menjalani hubungan jarak jauh itu, tak ada raut kesedihan. Lantas dapatkah Raida akan terbiasa seperti Rena? Insyaallah.
Seminar pun di mulai dengan pembukaan dari istri panglima selaku ketua dalam organisasi persatuan istri tentara tersebut. Terlihat wibawa sekali wanita bertubuh gempal tersebut. Raida mulai fokus pada pembicaraan seminar yang khusus di sampaikan oleh seorang penulis buku terkenal yang di datangkan langsung dari Bandung.
Perkataannya mampu menghipnotis siapa saja, dan mampu menyentuh hulung jiwa. Terutama ada kalimat yang menyangkut di batin Raida, yaitu. "Di balik kesuksesan seorang suami, pasti ada seorang wanita tangguh yang menjadi alasan semangatnya."
Apakah Raida termasuk wanita tangguh itu? Ia rasa tidak, karena selama ini Arvan yang selalu memberinya semangat bukan Raida. Gadis itu berasa belum menyandang istri yang baik, ia hanya bisa membuat Arvan bingung dan merepotkan.
Dengan tekat kuat, sepulang dari seminar ini Raida akan menata dirinya dan mengikuti tahap demi tahap menjadi seorang khodijah di mata Arvan. Setidaknya ia belajar dari sosok wanita yang dicintai rasulullah tersebut, seperti kesabarannya, ketegarannya, keikhlasannya, dan caranya memperlakukan seorang suami.
Raida memang bukan khodijah, namun ia akan berusaha sebisa mungkin menjadi sebuah bayangan si wanita sholeha tersebut.
~•°•~
Holla?
Sementara waktu Arvan di ilangin dulu ya, tapi tenang ko gak bakal lama soalnya takut kalian pada rindu. Eya, eya.
Salam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...