Teh hangat dihidangkan Raida beserta roti bakar sebagai sarapan pagi ini. Awal kembalinya kehangatan di dalam rumah ini di sambut oleh senyuman gadis itu yang sejak bangun tidur tidak pernah luntur.
Raida menjamu sang suami begitu baik, karena ia percaya akan ada surga yang menjadi balasannya. Mereka berdua menikmati sarapan pagi itu dengan khidmat, mungkin rumah serasa sepi karena belum hadirnya tawa kecil. Namun, Raida selalu berdoa dan meminta kehadiran berlian kecil di rumah tangganya bersama Arvan.
Dentingan ponsel Arvan memecah keheningan di ruang makan, tangan lelaki itu beralih pada ponselnya.
"Siap, saya akan segela ke sana. Laksanakan!" Suara tegasnya mampu membuat dahi Raida berkerut."Panggilan tugas?" Tebak Raida.
"Iya, Mas ditugaskan di Papua." Betapa kagetnya Raida mendengar penuturan Arvan. Papua? Tentu mereka harus berjauhan untuk sementara waktu dan Raida ataupun Arvan tidak bisa menolak hal itu.
"Untuk berapa hari?"
"Satu minggu, Mas mohon Adek mengerti." Sejujurnya Arvan berat sekali melakukan hal ini terlebih ketika melihat wajah Raida yang seolah tidak ingin ditinggal, tapi semua sudah menjadi janjinya untuk menjaga indonesia tetap aman.
Raida menghela nafas, kemudian mengembangkan senyuman, "pergilah, negara membutuhkanmu. Adek tidak apa-apa." Terlihat senyuman Arvan di balik pupil mata gadis itu.
"Doakan, Mas ya. Agar kembali dengan keadaan sedia kala dan ikhlas bila takdir berkehendak lain."
Raida mengangguk, lalu beranjak menyiapkan pakaian tugas Arvan. Peralatan yang dibawa telah di masukan kedalam ransel, tak lupa Raida menyimpan mushaf Al-quran kecil di sana.
"Mas jaga diri di sana, ingat ke mana harus kembali."
"Mas tahu, kembali ke sini kan." Ujar Arvan seraya menujuk dada kiri Raida, tepat di sana ada hati serta jantung yang berdetak.
Raida senyum malu-malu, "ah, sudahlah segera pergi nanti dimarahin komandan loh."
Lelaki itu tertawa ringan melihat betapa merahnya pipi Raida, "iya-iya. Adek baik-baik ya, Assalamualaikum." Setelah berucap Arvan mencium kening Raida.
"Waalaikumsalam." Raida pun membalas dengan kecupan di punggung tangan Arvan.
Perlahan tapi pasti lelaki itu berjalan meninggalkan Raida, dan jarak tercipta tanpa di inginkan. Gadis itu selalu berdoa di setiap langkah suaminya itu.
Mungkin ini sudah jalan dari Allah untuk menguji setiap hambanya dan jarak adalah pengantar yang baik untuk ujian itu.
~•°•~
Sepeninggalan Arvan beberapa jam yang lalu, Gadis itu lantas stay berada di depan layar televisi untuk memantau daerah yang ditugaskan Arvan itu.
Raida terus beristigfar ketika melihat betapa hancurnya bumi pertiwi oleh kobaran api, ya dikabarkan oleh pembawa acara bahwa daerah perhutan Papua sedang terjadi kebakaran oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Semua anggota porli ataupun TNI ditugaskan dalam hal itu, termasuk Arvan yang bertugas menjaga kaum pribumi agar selamat.
"Ya Allah lindungilah mereka semua." Hal itu selalu terucap di batinnya. Kekehawatiran Raida itu mendasar, karena udara di sana begitu sudah tercemar Raida takut dan khawatir tentunya terlebih kekehawatiran itu begitu besar tertuju pada sang suami yang sedang menyelamatkan langit indonesia.
"Yang tabah ya, Sayang. Doakan selalu suamimu itu." Ucapan Lita membuat Raida sadar akan kehadiran bundanya itu.
"Iya, Bunda doa selalu Raida ucapakan," sahut Raida.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear My Army(END)
General FictionJarak mengikis kebersamaan kita, namun jarak tak akan pernah meleburkan rasa cinta. Ketika mencintai tak harus terus berada didekatnya, cukup bangunlah kepercayaan di hatimu dan lantunan doa yang akan menyampaikan rindumu. Kini, kesetiaan dan cinta...