16:[Hadiah dari Sesil]

2.1K 98 0
                                    

"Morning! Pengantin baru!!!" Teriakan yang begitu melengking itu tiba-tiba terdengar ketika Raida dan Arvan keluar kamar.

Betapa kagetnya mereka melihat si pemilik suara tadi. Ya, dia Sesil dengan kerudung pasminanya yang selalu rekat di kepalanya. Wajahnya sangat cantik, jika di lihat lebih lekat Arvan dan juga Sesil seperti halnya anak kembar. Wajahnya sangat mirip.

"Sesil? Kapan kamu pulang? Trus Mama sama Papa mana?" Pertanya beruntun diberikan Arvan, sedangkan Sesil memanggapi dengan putaran bola matanya. Jika sudah begini, Arvan lebih cerewet ketimbang ibu-ibu komplek.

"Tadi malam, waktu kalian tidur." Sahutan itu bukan dari Sesil, tapi dari Lulu yang sedang berjibaku menata sarapan pagi ini. Raida yang melihat hal itu, lantas melangkah membantu Lulu.

"Mbak Raida! I miss ...." gadis itu secara tiba-tiba memeluk Raida, untungnya Raida sigap sehingga tidak terhuyung kebelakang. "Akhirnya bisa ketemu, Mbak. Maaf ya, waktu repsesi aku harus pulang duluan ke Balikpapan."

"Tidak apa-apa." Raida tersenyum seraya membalas pelukan itu.

"Sepertinya Sesil melupakan kenyataan bahwa dia mempunyai seorang Abang," sindir dari seorang lelaki yang tak lain ialah Arvan. Sesil yang menyadari lantas mengalihkan pelukannya pada sang abang, "rupanya Abang tampanku ini cemburu terhadap istrinya." Godaan Sesil mampu menciptakan tawa, baik itu Lulu dan juga Umar yang melihat betapa harmonisnya keluarga mereka.

"Ayo sarapan, nanti keburu dingin loh." Intuksi Lulu lantas disigapi oleh Raida, Arvan dan juga Sesil.


~•°•~

Waktu begitu cepat sekali berlalu, kini sore sudah menyapa langit dengan keindahan warna jingganya. Bahkan perlahan mulai berlalu ketika azan magrib berkumandang, Raida, Sesil dan juga Lulu melaksanakan sholat berjamaah di musholah kecil yang sengaja dibuat di rumah itu. Sedangkan Arvan dan juga Umar berangkat menuju masjid dekat komplek.

Usai semua mengerjakan kewajibannya itu, mereka kembali kemar masing-masing. Namun, tidak dengan Raida dan Sesil kedua gadis itu sangat fokus menonton film horor. Sejujurnya, Raida tidak mau menonton film itu kendati ini permintaan Sesil. Katanya untuk menebus rindu kepada Raida.

"Dek." Mendengar panggilan itu, keduanya lantas menoleh. Mendapati Arvan dengan baju rapihnya. "Mas memanggil Raida." Sesil lantas kembali menatap layar TV, sedangkan Raida beranjak mendekati lelaki itu.

"Kamu yakin gak mau ikut?" Raida mengangguk, ini sudah menjadi keputusannya. Ia tidak ingin mengangguk waktu Arvan bersama sahabatnya, karena besok mungkun Arvan akan jarang bertemu mereka. Jadi malam ini, Raida membiarkan suaminya itu berkumpul dengan sahabatnya di sini.

"Yasudah, Mas pamit. Mas akan pulang cepat ko." Arvan mencium kening Raida, gadis itupun membalasnya dengan ciuman di punggung tangan Arvan.

"Assalamulaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah memastikan Arvan pergi, Raida kembali pada Sesil yang tengah asik sendiri mengarungi suasana horor. Raida terkekeh geli, ketika Sesil berteriak tidak jelas karena ketakutan.

"Bang Arvan mau kemana, Mbak?" Tanya Sesil, pada saat menyadari kehadiran Raida kembali.

"Kumpul bersama sahabatnya."

"Boleh dong Mbak Raida menemaniku di kamar, aku ingin bercerita banyak hal sama, Mbak." Bujuk Sesil yang akhirnya di iyakan oleh Raida. Seperti halnya anak kecil yang diminta untuk mendongengkan sebelum tidur, seperti itulah Sesil sekarang.

Tak lama film yang sendari tadi terputar di layar televisi, sudah menunjukan bahwa film itu berakhir. Lantas Sesil mengajak langsung Raida ke kamarnya begitu antusias.

Kamar Sesil begitu sama luasnya dengan kamar yang selama ini di tempati Raida bersama Arvan, namun sangat intriornya sangat berbeda. Kamar Sesil lebih terlihat banyak warna pastel, seperti halnya kamar Raida di Bogor. Ah, bicara soal Bogor jadi membuat Raida rindu pada kedua orang tuanya.

"Sini, Mbak." Lamunannya buyar ketika Sesil mengintuksikannya untuk ikut ke atas ranjang besar nan empuk itu.

"Rumah pohon yang di bangun oleh Mbak dan Bang Arvan bagaimana keadaannya?" Sesil mulai mencairkan suasana.

"Masih terawat kok."

"Ah, aku ingin ke sana lagi. Semoga ada waktu untuk ke Bogor kembali." Tanpa sadar Raida mengaminkan hal itu, pikirannya tentang masa kecil terulang kembali. Sangat lucu sekali ketika Arvan yang bisa dikatakan masih kecil, harus menjadi seorang abang yang tegas kepada Sesil.

Raida menatap Sesil yang masih asik bercerita saat dirinya harus berinteraksi di kota baru. Sesekai Raida menjawab, lalu menyimak kembali. Tatapannya teralih oada buku diary berwarna coklat muda yang ada di nakas, ternyata Sesil masih sering menggunakan buku diary untuk menuangkan keluh kesahnya di jaman modren, biasanya kan anak remaja seperti Sesil lebih tertarik menuliskan itu pada status medsos.

"Kamu masih tulis diary?" Tanya Raida seraya meraih buku itu, namun di dahului oleh Sesil. "Jangan buka rahasiaku lah, aku malu." Terlihat sekali raut malu-malu kucing di wajahnya.

"Kamu sedang menyukai sesorang ya?" Entah ini hanya tebakan Raida saja.

"Ah, sudah lah Mbak Raida jangan menggodaku!" Raida terkekeh geli melihat salah tingkah Sesil.

"Oh, iya. Aku punya hadiah untuk Mbak Raida." Tawa Raida terhenti, berbarengan dengan Sesil yang beranjak dari ranjang.

Usai itu Sesil menyodorkan sebuah buku diaru berwarna hitam yang bertuliskan 'Raida'.
"Untukku?"

"Iya. Seharusnya ini diberikan pada saat pernikahan Mbak, namun aku lupa membawanya. Ini spesial, ada nama Mbak di cover buku ini. Aku mau, Mbak menuliskan suka dan duka Mbak di sini ketika Mbak sedang kesepian. Anggap sajalah, buku ini adalah aku."

Raida lantas memeluk Sesil dengan linangan air mata harunya, "terima kasih, Sesil. Terima kasih."

"Sama-sama. Jangan menangis dong, aku gak mau di sidang Abang gara-gara melihat istrinya ini menangis."

Raida tertawa renyah begitupun Sesil, mereka melanjutkan curhatan masing-masing. Raida pun sampai larut sekali ke dalam cerita Sesil, sehingga tanpa sadar kelopak matanya tertutup. Disusul Sesil.

Beberapa menit telah berlalu, Raida masih mendalami bunga tidurnya bersama Sesil. Namun, itu semua harus terhenti ketika sebuah tangan menepuk-nepuk halus pipi Raida. Gadis itu menggeliat, dan membuka secara perlahan kelopak matanya.

"Mas Arvan." Kaget bukan main oada saat itu, Raida meruntuki dirinya yang sampai tertidur di kamar Sesil.

"Haduh aku ketiduran, maaf."

"Tidak apa-apa, dilanjut yuk tidurnya di kamar kita." Raida mengangguk seraya beranjak.

"Mas baru pulang?" Arvan mengangguk, "tadi macet, karena ada kecelakaan beruntun." Raida mengucapkan istigfar dalam hatinya.

"Kamu sudah packing?" Tanya Arvan seraya menaiki ranjang, begitupun Raida.

"Sudah beres semua."

"Yasudah, ayo kita tidur supaya besok tidak telat." Arvan mengelus rambut panjang Raida, lalu mengecup pucuk kepalanya.

Mereka pun terlelap dengan belayan manja dari keheingan sang malam. Semesta seolah menjaga keduanya dalam mengarungi mimpi indah. Bahkan satu nyamuk pun tidak akan hinggap menganggu pasangan adam dan hawa ini.

~•°•~

Terimakasih sudah mengikuti cerita ini.

Silahkan komnetarnya.

•Aniaputrisy•

Bogor, 15 September 2019.

Dear My Army(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang