- Pengalih -
🍵🍵🍵
"Terkadang, kebohongan muncul bukan karena kemauan, tapi karena keterpaksaan."
- Kontras -"Nala!"
Gubrak!
Kluntang!
Risha terjatuh bersamaan dengan tumpahnya teh yang berada dalam toples tadi ke lantai. Matanya seketika bergerak cepat menatap tajam sosok yang tengah berdiri di pintu kamarnya dengan muka datar itu.
"Elfata! Masa depan kamu minta ditendang, ya!"
Seakan tidak peduli dengan ucapan ketus itu, cowok tadi malah terlihat berjalan ke arah Risha dengan wajah datarnya. "Udah aku duga," gumamnya.
Risha melirik sekilas. Malas merespons, Ia malah terlihat sibuk memunguti teh yang tadi terjatuh, membuat cowok tadi berdecak, lalu ikut jongkok di sampingnya.
"Tuman banget makan ginian! Makanan yang enak banyak, loh, Nal."
"Iya, yang enak banyak. Tapi yang bikin aku tenang cuman ini."
"Bego!"
"Porah!"
"His, ngeyel!" Cowok itu tiba-tiba berdiri. "Melu aku aja, ayok!" ajaknya. Tangannya bergerak hendak menyeret lengan Risha.
Risha yang kaget pun refleks menyembunyikan tangannya di balik badan. Ia menatap horor tangan yang hendak menggapai lengannya itu. "Kalo kamu mau minta buat nemenin cari bunga di kuburan, aku gak mau!"
"Ini hari minggu, wey! Ya kali! Emang tiap hari aku makan kembang?"
"Bisa jadi. Apalagi besok, kan, kamu pentas."
Pemuda berbaju merah itu memutar bola mata malas. "Kok, ngeyel! Udahlah, ayo cepetan ikut!"
"Bentar, kampret! Tehnya diberesin dulu! Nanti kalo ketahuan Mbah Uti bisa kacau!"
Ardan—pemuda yang dipanggil El tadi—mengembuskan napas malas. Cowok itu kemudian berlari ke luar kamar, lalu secepat kilat masuk kembali dengan tangan kanan yang sudah membawa sapu.
Melihat hal itu, mata Risha kontan melebar. Tangannya refleks bergerak menahan pergerakan Ardan yang ingin menyapu tehnya. "Jangan disapu, El! Sayang! Kemarin baru beli."
"Nanti aku beliin selusin!" celetuk Ardan sambil menyapu teh itu dengan cekatan.
Tidak! Tehnya tidak dibuang di tempat sampah, melainkan cuma dialihtempatkan menjadi di bawah kasur. Apa-apaan, coba?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontras
Teen Fiction"Apa yang terlihat, tidak seperti kelihatannya." ━━━━━━━━━━━━━━━ Hati manusia itu rapuh, tetapi sayang. Mereka terlalu munafik. Berkata tidak apa, nyatanya ribuan duri menusuk batinnya. Duri-duri itu menciptakan biasa, yang nyatanya, semakin dibiar...