- Diskriminasi -
Keadaan benar-benar berubah setelah kejadian beberapa waktu lalu. Kehangatan yang dulu terpancar, kini meredup entah ke mana. Tangan-tangan yang dulu merangkul, kini abai tak lagi memedulikan. Tak acuh. Mereka seolah tak pernah saling mengenal sebelumnya.
Canggung pun mendadak menyerang kala bertemu orang yang dikenal. Bingung antara ingin menyapa seperti biasa, atau abai seperti yang berlaku untuk yang lainnya. Akhirnya, rasa abai itu kini menguasai. Senyum yang diiringi sapa itu kini sirna entah ke mana. Yang ada hanya wajah datar dengan rasa takut yang terselubung di baliknya.
Rasa percaya itu kini telah pergi. Tak ada lagi kepercayaan yang tertaruh untuk orang asing. Bahkan untuk Laura, gadis yang entah kenapa beberapa waktu lalu tiba-tiba memeluk Risha dengan air mata yang sudah luruh dari pelupuknya.
Tidak ada kata panjang lebar yang biasa gadis itu lontarkan. Hanya satu kalimat. Sebuah kalimat yang sampai saat ini terngiang di kepala Risha.
"Ris, suatu saat, orang akan membuka topengnya masing-masing tanpa diminta." Laura menggenggam kedua tangan Risha erat. "Aku harap, kamu siap untuk waktu itu, ya, Ris." Laura tersenyum. Sebelum akhirnya, kembali memeluk Risha.
Kalimat itulah yang membuat Risha semakin hati-hati menaruh kepercayaan. Bahkan, hatinya sempat ragu dengan kekasihnya. Jika saja hari itu Naufal tidak berhasil meyakinkannya. Mungkin, sampai kini Risha akan menjadi orang yang lebih tertutup.
Namun, akhirnya Risha luluh. Pikiran kalutnya akhirnya berhasil ditenangkan oleh cowok pemegang tanggungjawab besar di ekskul Karate itu. Membuat gadis itu sadar, kalau Naufal-lah kini orang yang ia butuhkan. Orang yang akan tetap ada di sampingnya, bahkan di saat seperti ini.
Ternyata benar kalimatnya waktu itu.
Risha termenung di jendela kamar. Pikirannya yang sedang berkelana, memutar kepingan kejadian yang telah ia lalui akhir-akhir ini.
"Ya Allah ... sebenarnya apa yang tengah Engkau persiapkan? Aku capek ...."
Risha meraup wajah kasar, sebelum berlalu ke lemari pakaiannya. Tangannya membuka lipatan pakaian paling atas, lalu mengambil plastik yang ada di dalamnya.
"Sekarang cuma kamu yang bisa bikin aku tenang, teh," gumam Risha dengan teh di plastik yang ada di tangannya. Ia lalu membawanya ke depan jendela seperti posisinya tadi.
"Mbak!"
Secepet kilat Risha memasukkan plastik itu ke dalam bajunya. Bisa gawat jika adiknya itu melihat.
"Apa?" Risha membalik badan dengan malas. Sebelah tangannya memegang perut--tepatnya plastik teh yang ada di perut. "Ketuk pintu dulu kenapa, sih? Tuman banget."
"Mbak makan apa?"
Refleks, Risha yang tadi tampak mengunyah, kini terdiam. "Enggak ada. Mbak nggak lagi makan apa-apa, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kontras
Teen Fiction"Apa yang terlihat, tidak seperti kelihatannya." ━━━━━━━━━━━━━━━ Hati manusia itu rapuh, tetapi sayang. Mereka terlalu munafik. Berkata tidak apa, nyatanya ribuan duri menusuk batinnya. Duri-duri itu menciptakan biasa, yang nyatanya, semakin dibiar...