"Apa yang terlihat, tidak seperti kelihatannya."
━━━━━━━━━━━━━━━
Hati manusia itu rapuh, tetapi sayang. Mereka terlalu munafik. Berkata tidak apa, nyatanya ribuan duri menusuk batinnya.
Duri-duri itu menciptakan biasa, yang nyatanya, semakin dibiar...
"Penyesalan selalu datang setelah kesalahan berhasil dilakukan." - Kontras -
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sehabis salat subuh, Risha keluar untuk membuka gorden. Ia melihat banyak sekali motor terparkir di halaman rumah Ardan. Bahkan, ada yang sampai parkir di halaman rumahnya.
Mungkin mereka baru saja pulang dari pentasnya, pikir Risha.
Risha pun melanjutkan pekerjaannya dengan menyapu seluruh rumah. Sekalian olahraga katanya.
Saat Risha tengah asyik-asyiknya menyapu ruang tengah, tiba-tiba terdengar suara Marsinah memanggil dari dapur. Membuat gadis berkulit kuning langsat itu segera menyelesaikan pekerjaannya.
"Ada apa, Mbah?" tanyanya setelah sampai di hadapan Marsinah.
Alih-alih menjawab, simbahnya malah balik bertanya. "Rumah Fata rame, Nduk?"
Risha mengangguk. "Iya, tuh, Mbah. Kayaknya baru aja pulang."
"Nah, pas banget tadi Mbah goreng pisang. Kamu antar ke sana, ya." Wanita paruh baya itu mengambil satu nampan ukuran sedang di meja makan, lalu memberikannya kepada Risha.
Mata Risha sedikit melebar melihat isi nampan di tangannya. "Mbah, ini banyak banget. Nggak sekalian dijual aja? Lumayan uangnya bisa buat beli jajan Nala, nih." Risha berkata sambil mengamati nampan di tangannya.
Pasalnya, isi benda itu tampak penuh. Simbahnya bukan terlihat ingin memberi, tetapi malah seperti ingin menjual saking banyaknya.
"Hus! Jangan makan yang itu!" Marsinah menyentil tangan Risha yang hendak mengambil pisang goreng. "Itu khusus buat anak Barongan. Ini buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan nampan lain yang lebih kecil.
"Laaah ... kok punya kita lebih sedikit, sih, Mbah? Mana cukup ini?"
"Cukup. Nanti kalo kurang, tinggal goreng lagi. Lagian, ini banyak karena anak Barongan juga ada banyak, Nduk."
"Ih, kalo ngitung anak Barongan ya bisa lebih dari lima puluh dong, Mbah," rengeknya. Tampak masih tidak terima.
"Wes, ndak pa-pa. Daripada mereka rebutan pisang goreng, mending kasih aja sama rata."
Risha merengut. Bibirnya maju bebera senti.
"Wes ... jangan merengut gitu. Sana buruan kasih. Keburu siang."
"Hm, iya." Akhirnya, mau tidak mau Risha pun pasrah. Ia lantas membawa langkahnya ke rumah seseorang yang akhir ini berjarak dengannya.
Namun, saat Risha hendak membuka pintu utama, lagi-lagi ada suara yang menghentikannya.
"Ada apa, Mbah?" tanyanya kepada Mulyadi yang tadi memanggil.
"Mau ke rumah Fata?"
"Iya. Nih, mau nganter pisang buat anak Barongan." Risha sedikit mengangkat nampan di tangannya.