8 - Ekskul

8.6K 659 32
                                    

Pagi ini tidak terlalu cerah. Hujan gerimis turun mengguyur kota Jakarta sejak pukul 03.00 WIB tadi. Arsenpun tidak bisa tidur nyenyak karena suara hujan diluar sana.

Ia menghabiskan malamnya dengan bermain game Resident Evil di laptop yang ia beli dengan uang tabungannya sendiri.

Ia sangat suka game. Dan pertama kali ia bermain game adalah saat ia masih TK. Saat itu, ia hanya bermain games biasa melalui ponsel ayahnya yang masih termasuk ponsel bagus pada jamannya. Apalagi kalau bukan ponsel N*kia?

Arsen menghabiskan banyak waktunya hanya untuk bermain game. Bahkan sebagian uang jajannya selalu ia tabung untuk membeli peralatan games.

Arsen bukan tipe anak manja yang selalu merengek ini-itu pada orang tua. Dia adalah tipe orang yang malu jika harus meminta sesuatu pada orang tuanya.

Apa yang Razel dan Carmilla berikan, akan ia terima dengan senang hati. Tapi jika tidak dia membutuhkan hal yang lain, dia biasanya akan berusaha sendiri. Meminta sesuatu pada orang tua adalah hal yang memalukan baginya.

Mungkin itu alasannya mengapa ia selalu membayar SPPnya sendiri dengan uang tabungannya. Dan juga tak pernah sekalipun mengikuti Study Tour kelas maupun Perpisahan. Ia tak berani meminta uang pada orang tuanya, apalagi dalam jumlah besar. Meminta 5000 rupiah saja, ia malu, sungguh.

Saat jam sudah menunjukkan pukul 06.00, laki-laki itu terpaksa bangkit dan mandi. Padahal, ia masuk sekolah pukul 06.30 WIB.

Tak herankan mengapa sejak SMP, dia dijuluki sebagai Raja Telat oleh teman-temannya? Karena, tak ada sehari tanpa telat baginya.

"Kalau bisa santuy, kenapa harus buru-buru?"

Laki-laki itu keluar dari kamar mandi yang menyatu dengan kamarnya itu. Dia sudah rapih dengan seragamnya. Hari ini, seragamnya masih sama seperti kemarin, yaitu putih abu-abu. Dan tentunya, tanpa dasi maupun gesper. Lagipula, kedua benda itu hanya pajangan saja baginya.

Yang penting, ia tak lupa membawa dirinya sendiri, kan?

Ponselnya bergetar hebat, Arsen hanya menoleh sekilas. Mengintip notif demi notif yang muncul dilayar ponselnya.

Bianca
Aku kangen kamu, Rega

Aldo
Sen, gc goblok, dah masuk.

Bagas
Sen lu dimana?

Ganang
Bangun woy!
Goblok kau bang

Arsen hanya meringis kesal karena ponselnya tak berhenti bergetar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk, menyisir rambut coklatnya dengan jari-jarinya kemudian menyemprotkan spray rambut pada rambutnya.

Laki-laki itu merapihkan rambutnya sebelum akhirnya memulai rutinitas yang ia lakukan setiap hari. Push Up 100x.

Sejak kecil, ia diajarkan untuk melakukan itu saat setelah mandi pagi dan malam saat sebelum tidur. Razel juga melakukan hal yang sama. Tak heran kan mengapa tubuhnya bagus?

"Arsen, kamu bosen sekolah?!" teriak Razel dibawah sana.

"Iya, sabar!" sahut Arsen, ikut berteriak dengan maksud agar Razel mendengarnya.

Laki-laki itu melangkah keluar kamar sembari mengigit jam tangannya dimulutnya sedangkan tangannya sibuk mengancingi seragamnya itu.

"Sana jalan, udah telat kamu!"

Arsen menoleh sekilas kearah jam dinding, "Baru jam 06.30 astaghfirullah, jangan ngagetin dong!" dia meringis kesal.

Laki-laki itu menghampiri Razel yang duduk didapur. Pria itu tampak sebal pada putranya, "Jangan berisik, mama kamu belom bangun." bisiknya kemudian ia menyodorkan segelas susu pada Arsen.

Arsen memakai jam tangannya kemudian meraih gelas itu dan meminumnya. Sebelum akhirnya dia tersedak karena rasa susu yang tak manis maupun hambar, melainkan asin...

"Apaan nih?" ia meletakkan gelas itu keatas meja dengan tatapan kesal. "Papa sengaja ya?!" tuduhnya.

"Kenapa sih? Marah-marah mulu."

"Itu susu apaan? Asin gitu."

Razel meraih gelas susu yang masih setengah penuh itu kemudian mencicipinya, "Not bad kok." ucapnya kemudian menyodorkan gelas itu lagi pada Arsen.

"Bapak lu not bad." gerutunya Arsen, ia melirik Razel dengan sinis.

"Heh, ga sopan! Papa denger ya!"

Arsen hanya menyeringai kemudian mengambil gelas itu dari tangan Razel dan meletakkannya ke wastafel. "Pa, aku mau ikut ekskul basket."

"Yaudah ikut aja."

"Aku kepengen ikut osis juga deh."

Razel melirik putranya dengan sinis, "Kamu dari SMP selalu ngomong begitu tapi akhirnya ga jadi mulu, bosen papa dengernya."

Arsen hanya terkekeh, "Udah jam 06.36 Pah, aku berangkat ya."

Razel hanya berdehem, menatap putranya yang memakai tas, meraih sebuah hoodie abu-abu yang kemudian ia taruh dipundaknya, serta mengambil kunci motornya yang selalu saja ia taruh sembarangan. Nanti kalau hilang, dia marah-marah sendiri.

~~~

"Jadi anak-anak, sekolah kita memiliki cukup banyak ekskul yang bisa kalian ikuti. Yang pertama adalah Dance, dance bisa diikuti oleh perempuan maupun laki-laki. Tapi kalau laki-laki yang bagian hip-hop. Ada yang mau daftar?" tanya Bu Anjani, guru pelajaran olahraga.

Kelas itu hening, tak ada yang bersuara ataupun mengangkat tangannya.

"Kamu." Bu Anjani menunjuk Arsen yang sedari tadi tampak memainkan pulpennya tanpa mendengar penjelasannya sama sekali.

"Saya?" tanya Arsen, ia menunjuk dirinya sendiri.

"Kamu gamau ikut? Ini seru loh! Setiap bulan selalu ada perlombaan dan gratis tanpa dipungut biaya. Lagian, badanmu bagus. Sayang kalau ga dimanfaatin, kan?"

Arsen menggelengkan kepalanya, "Ga minat, bu." sahutnya ramah.

"Okay kalau gitu selanjutnya.." Bu Anjani memberi jeda, ia menarik nafas panjang. "Disekolah ini, ada Futsal, Basket, PMR, Drumband, Silat, Karate, Taekwondo, Paskibra, dan Badminton."

Arsen mengangkat tangannya, itu cukup untuk menyita perhatian anak-anak sekelas. "Saya ikut basket."

Bu Anjani tampak menghampiri Arsen dan memberikan laki-laki itu sebuah kertas. Tulis nama, kelas, dan nomor Whatsapp.

"Saya juga ya, bu?" ucap ke 6 teman-teman Arsen dengan kompak, kecuali Verdo yang diam saja.

Bu Anjani mengangguk dan berdiri didepan tempat duduk mereka. Menunggu mereka selesai menulis. Tak sengaja, tatapannya berhenti pada sosok Verdo, laki-laki itu sangat pendiam.

"Kamu ga ikut apa-apa?" tegur Bu Anjani.

Verdo mengerjap halus, ia mendongak dan menatap Bu Anjani, "Saya mau ikut osis aja.."

"Kalau gitu, kalau sudah pulang nanti, kumpul dilapangan ya? Jangan langsung pulang." Bu Anjani tersenyum ramah.

Verdo hanya mengangguk-angguk dan menoleh kearah Arsen yang tengah menatapnya, "Lu ikut osis?"

Verdo mengangguk lagi.

"Emang ga cape?"

Kali ini Verdo menggeleng.

"Okay kalau lu butuh apa-apa, panggil gua aja."

Adit mengembalikan kertas itu pada Bu Anjani. Wanita itu meraih kertas itu kemudian pergi meninggalkan kelas yang hening itu. Seketika, kelasnya heboh dan ricuh.

"Pantesan Rangga ga tinggi-tinggi. Tingginya diborong semua sama Arsen." seru murid laki-laki yang duduk dipojok seberang sana. Kemudian terdengar gelak tawa dari sana juga.

Arsen tidak kenal dengannya, dan tidak peduli juga. Selagi ada teman-temannya, dia tak harus akrab dengan orang lain, kan?



ARSEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang