"Rega, tahun ini umurmu berapa?" tanya Razel, pria itu melirik kearah Arsen yang sedang duduk didapur kemudian ia meletakkan sebuah kotak kecil dihadapan putranya itu.
"17!" sahut laki-laki itu, ia tersenyum manis.
"Udah dewasa kan?"
Arsen mengangguk cepat, sambil tersenyum lagi. Razel menyentuh kepala Arsen, ia mengelus dengan lembut rambut putranya itu. Rambutnya coklat, Razel heran kenapa Arsen selalu mewarnai rambutnya?
"Kenapa kamu selalu warnain rambut kamu?" tanya Razel. Ia tiba-tiba mengubah topik pembicaraannya.
Arsen mengernyit, bingung. "Kan emang selalu aku warnain."
"Bukannya hitam udah bagus?"
Arsen menggeleng cepat, ia mengerucutkan bibirnya. "Jelek! Aku sukanya warna coklat atau silver. Nanti aku warnain lagi biaar keren kayak papa." Ia tertawa.
Dihadapan Razel, Arsen selalu bersikap seperti anak kecil. Karena dimata Razel, Arsenpun masih tampak seperti anak kecil. Sikapnya, cara bicaranya, semuanya.
Bagi Razel, galak dan kasar adalah topeng kebohongan terbesar milik Arsen. Karena sebenarnya, Arsen anak yang sangat baik, lembut dan manja. berbeda dengan Arsen yang biasa teman-temannya kenal.
"Kamu harus berubah, Arsen." Lagi-lagi Razel mengalihkan pembicaraan.
"Berubah jadi power ranger?" tanya Arsen, ia menatap Razel dengan mata berbinar-binar.
Razel tertawa pelan, ia mencubit pipi putranya itu dengan lembut. "Kamu harus bersikap dewasa sedikit. Kamu sendiri yang bilang ke papa kalau kamu udah dewasa kan?"
Arsen menggeleng cepat, "Masih kecil!"
Lagi-lagi pria itu tertawa kemudian ia memukul pundak Arsen dengan pelan. "Jangan debat sama papa. Kamu ga boleh begini terus, inget umur dong."
Arsen tiba-tiba terdiam, ia mengalihkan pandangannya dari Razel. Pria itu mengerutkan dahinya, apa ia salah bicara? "Kenapa?"
"Jadi bagi papa, aku ini ga inget umur?" ia menatap kedua manik mata Razel dengan tatapan dingin.
"Rega, bukan gitu astaga." ia terkikik. "Maksud papa, kalau kamu jadi anak kecil terus kayak gini, kapan kamu dewasa? Papa tau kamu udah pernah bilang ke papa kalau kamu ga mau nikah. Tapi dewasa itu kan suatu keharusan, Rega..."
"Rega mau nikah." ucapnya, tiba-tiba. "Tapi Rega ga yakin bisa hidup sampai saat itu tiba." tatapannya berubah, ia menatap Razel dengan tatapan yang tampak agak sayu.
"Kenapa ga yakin?"
Arsen diam, ia menunduk.
"Gapapa, ngomong aja. Mama, Suhan sama Kanaya lagi keluar. Kita cuma berdua disini, Rega."
Arsen tetap diam, ia tampak tak berani menatap mata Razel. Pria itu menangkup wajah putranya, "Kamu ga usah nahan-nahan tangisan didepan papa, ya? Kamu inget ucapan papa, kan?"
Arsen mengangguk.
"Kalau gitu, ayo cerita. Sambil nangis juga gapapa."
"Kenapa mama nyalahin aku gara-gara Vhiyu sama Acha meninggal?" tanyanya, ia menunduk.
"Waktu itu mama kamu sedih banget. Makanya dia asal ngomong."
"Dan dulu pas papa bilang kayak gitu, aku masih kecil makanya aku percaya-percaya aja. Tapi sekarang situasinya beda, aku bukan anak kecil yang gampang diboongin."
"Kamu tau ga? Kebahagiaan yang dateng ke kamu, kenapa selalu kamu tolak? Ga minat bukan alasan sesungguhnya, Rega."
Arsen mengangkat kepalanya dan menatap mata Razel. "Tawaran modeling, casting, nyanyi, rap, semua itu bukan kebahagiaan aku.." ia menunduk lagi. "Aku cuma butuh mama sama papa..."
Razel tersenyum tipis menatap putranya.
"Papa mau tau kan alasan aku yang benci nonton, tiba-tiba jadi suka nonton?"
Razel mengangguk dan membalas tatapan Arsen.
"Karna, cuma pas nonton doang, aku, papa sama mama bisa duduk bertiga didepan TV dan nonton sama-sama. Selain kegiatan itu, ga ada yang lainnya yang bisa bikin kita ngumpul kayak gitu." mata Arsen mulai berkaca-kaca.
Razel kembali menyentuh rambut Arsen. Pria itu mengusap puncak kepala putranya dengan lembut.
"Situasinya udah berbeda sekarang. Kebahagiaan papa, adalah pas liat kamu bahagia. Ayo sebutin, kamu mau apa?" Pria itu menopang dagunya sambil tersenyum lebar dan menatap Arsen.
Arsen menyeka air mata yang hampir keluar itu, ia tersenyum juga. "Aku punya Lova."
"Lova?" Pria itu mengerutkan dahinya, "Siapa?"
"Itu..." ia mengulum senyumannya, "Pacar aku." sahutnya pelan.
"Kali ini ga main-main kan?" Razel menatap putranya itu dengan tatapan curiga.
Arsen tertawa, "Nggak. Lova beda. Dia ga mandang aku dari wajah. Dia juga ga se agresif cewek-cewek lain yang biasanya langsung nembak aku."
"Bagus dong. Kamu suka dia?"
Arsen mengangguk cepat.
"Kalau gitu, perlakuin dia dengan spesial." Razel mengusap puncak kepala Arsen lagi. "Papa tau lingkungan pertemanan kamu kurang baik, tapi kamu tau kenapa papa ga pernah ngelarang kamu temenan sama siapapun yang kamu mau?"
Arsen menggeleng pelan, dengan tampang lugu.
"Itu karna, Papa percaya kamu ga akan ngecewain papa. Kalau kamu beneran sayang sama dia, jangan pernah berkhianat, okay?"
Arsen mengangguk sambil tersenyum manis.
"Setiap kamu mau ngelakuin dosa yang nyakitin dia itu, kamu harus inget penderitaan papa saat papa ngerasain itu. Kamu tau rasanya disakitin kayak gitu, kan? Mama kamu mungkin tega, tapi kamu nggak, kan?"
"Nggak. Aku ga seburuk mama."
"Setiap kamu mau berbuat jahat, inget papa. Rasa kecewa timbul karena kita terlalu berharap lebih. Tapi apa salahnya berharap lebih? Jadi papa harap kamu ga bakal ngelakuin itu dan ngelakuin sesuatu yang kecewain papa."
Arsen tersenyum lebar kemudian kembali mengangguk senang.
"Dan soal itu, papa udah tau."
Arsen mengernyit, "Tau apa? Soal apa?"
Razel mengeluarkan sebotol obat yang ia simpan di saku pakaiannya. Arsen terkejut melihat obat itu ada ditangan Razel.
"Tante Karin ga pernah bilang apa-apa ke Papa." ucapnya, ia memutar-mutarkan botol itu. "Ini papa temuin pas papa lagi bersih-bersihin kamar kamu tadi pagi."
Arsen menatap botol itu.
"Kamu sakit kenapa ga kasih tau papa?"
Arsen menggeleng cepat.
"Kamu tau ga obat Xanax itu buat apa?"
"Obat penenang."
"Papa gatau kenapa kamu jadi begini. Tapi kalau kamu mau cerita, papa disini, Rega." Razel tersenyum ramah pada Arsen. Arsen hanya menunduk dalam-dalam.
"Kenapa kamu minum ini? Kamu pernah mikir pengen bunuh diri?" tanya pria itu, ia melirik kearah Arsen yang masih menunduk.
"Sering, tapi kalau nyoba ngelakuinnya sih baru beberapa kali."
"Kenapa?"
"Setiap kali aku ngerasa ga berguna, sedih, stress, aku selalu mikirin hal-hal negatif tentang seberapa benci orang-orang diluar sana sama aku. Aku mengecewakan, ga ada yang bisa dibanggain dari anak kayak aku. Mama sering ngomong begitu, kan? Makanya itu kadang aku mikir, kalau aku mati, mama ga bakal benci sama aku lagi. Ga akan marah-marah lagi. Seenggaknya, aku ga nyampah dilingkungan penglihatan mama."
Razel mengusap kepala Arsen, laki-laki itu mendongak dan menatap wajah Razel. "Papa mohon, jangan pernah dengerin ucapan mama kamu. Se negatif apapun itu. Coba berpikir lebih positif, ya?"
Arsen hanya mengangguk-angguk.
"Waktunya tidur, besok sekolah, kan?"
Arsen mengangguk lagi kemudian menatap Razel yang bangkit kemudian masuk ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSEN (END)
Teen FictionKalau kata orang, cinta itu bagian dari hidup. Tapi, tidak bagi Arsen. Arsen Raditya Arkharega, hanya seorang siswa SMK biasa yang menjadi pujaan hati para wanita karena parasnya yang diatas standar. Ia benci dibilang tampan. Karena baginya, itu ha...