18 - Pangeran?

6.3K 564 1
                                    

Arsen duduk ditepi lapangan bersama teman-temannya. Mereka baru saja selesai bermain basket. Namun entah mengapa murid-murid perempuan mulai berdatangan tanpa alasan dan ikut menonton ditepi lapangan sejak tadi.

Elsa duduk tak jauh dari Arsen. Gadis itu hanya diam sedari tadi, karena Arsen tampak fokus mengobrol dengan teman-temannya yang tak lain dan tak bukan adalah Ganang, Gazza, Bagas, Aldo, Adit, dan Micho.

Ganang menyenggol lengan Arsen sambil sesekali melirik kearah Elsa. Sayangnya, Arsen tak paham pada kode begitu.

Laki-laki itu hanya melirik sekilas kearah Elsa yang tampak sedang termenung sembari menatap lapangan.

Arsen mengibas-ngibaskan tangannya dihadapan wajah Elsa, namun gadis itu tak kunjung sadar dari lamunannya. Arsen pun menepuk pundak gadis itu dengan kencang sembari berbisik ditelinga gadis itu, memanggil namanya.

Gadis itu terlonjak kaget dan sontak menoleh kearah Arsen. Untuk beberapa saat, Elsa terdiam saat wajahnya benar-benar dekat dengan wajah Arsen.

"Kenapa.. Pangeran?" tanyanya, tanpa sadar.

Arsen tertawa kecil, "Pangeran?"

Untuk pertama kalinya, Elsa melihat Arsen tersenyum. Suasananya mendadak sunyi. Mereka tidak sadar bahwa puluhan murid perempuan ditepi lapangan tengah menatap kearah mereka.

Arsen menjauhkan wajahnya dari wajah Elsa sehingga gadis itu bisa menghembuskan nafas lega sebelum dia mati kehabisan nafas.

"Lu tau ga apa arti dari Pangeran?"

Elsa mengangguk, "Anak seorang raja dan ratu yang punya wajah ganteng, kan?"

Arsen kembali tersenyum, tatapannya lurus. "Pangeran itu ga semuanya ganteng kok. Mereka dapet gelar itu karena kedudukan ayah atau ibu mereka. Mungkin karena Pangeran identik sama cowok yang ganteng kali ya? Padahal ga semua pangeran itu ganteng."

Elsa terdiam, ia menatap kearah yang sama dengan Arsen.

"Sama halnya kayak bunga mawar yang katanya paling indah didunia. Ga semua bunga mawar didunia ini indah, kan? Bisa aja ada yang layu atau busuk. Lalu, apa mereka masih pantes dapetin gelar sebagai Bunga Terindah Didunia?"

Elsa menoleh kearah Arsen kemudian menggelengkan kepalanya.

"Jadi, kalau orang yang lu sebut-sebut sebagai pangeran itu ternyata nggak ganteng, nggak baik, dan sama sekali ga mirip dengan pangeran yang biasanya lu liat di film-film, apa lu masih mau manggil dia Pangeran?"

"Kalau lo, ceritanya beda."

"Ayo deh balik." ajaknya kemudian ia bangkit, dan memberikan bola basket ditangannya kepada Gazza.

Elsa ikut bangkit dan kembali mengekori Arsen. Gadis itu terlalu fokus pada Arsen, hingga ia tak menyadari tatapan-tatapan yang murid-murid perempuan itu berikan disepanjang koridor.

~~~

Arsen dan Elsa melangkah masuk kerumah. Mereka baru sampai dirumah saat jam 11.00 WIB. Karin yang awalnya tampak sedang bersih-bersih, langsung menghampiri 2 orang itu, dengan maksud menyambut mereka.

Karin memegang lengan Elsa dengan lembut kemudian menyuruhnya untuk pergi. Kecuali Arsen.

"Tante mau bicara sama kamu, Arsen. Duduk dulu, ya?"

Laki-laki itu menggantung kunci motornya kemudian duduk di sofa ruang tamunya, bersama dengan Karin yang menatapnya dengan tatapan aneh.

"Tadi, papa kamu nelpon. Dan tante udah ngasih tau semua yang tante liat dari kemarin malam, sampe pagi ini."

Arsen hanya menatap Karin sambil mengangguk-angguk.

Karin mendekati wajahnya pada Arsen, "Kamu sakit?" tanyanya, berbisik.

Arsen menggeleng cepat, "Emang kenapa?"

"Terus.. Obat yang ada diatas nakas itu, apa?"

Arsen mengernyit, "Tante masuk kamar aku?"

"Semalem tante masuk. Kamu tidur tanpa ganti baju dan juga kamu ga lepas sepatu. Tante masuk karena papa kamu nyuruh tante buat ngecek, kamu beneran tidur atau pura-pura tidur. Dan tante nemuin obat itu."

"Tante bilang ke papa?"

"Jawab dulu pertanyaan tante."

"Aku ga sakit!"

"Boong, kalau ga sakit, kenapa minum obat?"

"Kalau tante janji buat ga ngasih tau siapapun, aku bakal kasih tau tante.."

Karin tersenyum tipis, "Janji. Ayo kasih tau!"

"Dulu aku sempet ke dokter. Tapi, aku ga pernah cerita ke siapa-siapa.." Arsen terdiam, menggantung ucapannya.

"Aku di diagnosis punya gangguan Bipolar, atau Bipolar Disorder. Dokter sempet nyuruh aku nginep dirumah sakit buat pengawasan berkala karena aku sering kepikiran buat bunuh diri. Tapi aku gamau. Jadi, dokter cuma bisa ngasih aku beberapa obat yang mungkin bisa bantu mood aku jadi lebih stabil." lanjutnya

"Lalu?"

"Aku diharuskan buat minum obat itu terus, buat ngurangin depresi dan niat buat bunuh diri. Waktu itu, aku dikasih antidepresan, antipsikotik, obat anti stress, sama penstabil mood. Terus..." Arsen kembali terdiam dan menatap wajah Karin yang tampak penasaran.

"Terus.. dokter nyuruh aku buat ninggalin sesuatu yang ga bikin aku bahagia. Dia juga nyuruh aku buat konsultasi ke Psikiater. Tapi aku gamau, jadi aku ga pernah balik ke tempat itu."

"Obat itu, kamu beli sendiri?"

"Xanax itu, obat yang aku minum pas aku ngerasa sedih berlebihan, cemas, atau gelisah. Sedangkan Risperidone, masih sama kayak antipsikotik sih.." laki-laki itu terkekeh, dengan wajah menunduk.

Karin terdiam, menatap laki-laki itu. "Kamu ga cerita ke Razel?"

Arsen langsung mendongak dan bergeleng, "Jangan kasih tau! Nanti, dia pasti kecewa." Arsen tersenyum tipis kemudian kembali menunduk, "Anak yang dia didik dari kecil, pas udah gede malah punya gangguan mental."

"Razel ga mungkin kecewa, Arsen. Dia kan papa kamu.."

"Nanti dia maksa aku ke Psikiater. Aku gamau.."

Karin tersenyum hangat kemudian mengelus rambut Arsen dengan lembut, agar laki-laki itu merasa tenang.

Bipolar disorder atau yang juga dikenal sebagai gangguan bipolar adalah suatu kondisi mental yang menyebabkan terjadinya perubahan yang ekstrem. Hal ini membuat orang dengan gangguan bipolar memiliki episode mood yang sangat bahagia (mania) atau sangat sedih (depresi).

Saat pasien merasa sedih, ia akan merasa tertekan, kehilangan harapan, dan bahkan dapat kehilangan keinginan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Tetapi saat merasa senang, pasien akan merasa sangat bersemangat dan penuh gairah.

Kondisi jiwa ini dapat menyebabkan rusaknya hubungan pribadi, rendahnya motivasi dan produktivitas di tempat kerja, dan yang lebih buruk lagi dapat menyebabkan perasaan ingin melakukan bunuh diri.

Dan Arsen, sudah mengalami itu semua hingga titik dimana ia memiliki perasaan ingin bunuh diri. Tapi, ia terlalu takut untuk melakukan hal itu.

ARSEN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang