12. 2016 - Mouse

191 50 7
                                    

Waktu itu cepat berlalu. Iya, nggak? Perasaan baru kemarin cuci sepatu, eh udah harus cuci lagi; baru kemarin beli paket kuota internet, eh udah harus beli lagi; baru kemarin ulang tahun, eh umur udah bertambah lagi. Kira-kira begitulah yang gue rasakan sekarang. Baru kemarin masuk kelas baru, eh tiba-tiba udah anyar lagi. Sekarang nama gue tercantum di buku absen kelas 11 IPA 2, bukan lagi di 10 IPA 1. Bersama nama-nama lain yang sebagian besar nggak gue kenali.

Yap, kalian benar, pembaca yang budiman. Kelasnya diacak. Males banget.

Tapi, gue nggak begitu kesal. Pasalnya, di kelas yang lama juga gue nggak terlalu kerasan. Jadi, ketika di kelas baru ini orang-orangnya banyak yang ganti, gue oke-oke aja.

Satu-satunya hal yang bikin gue sedih adalah takdir yang nggak menghendaki gue dan Mimi bersama. Dia terdaftar sebagai warga kelas 11 IPA 1. Mungkin kalian bakal mencela gue, cengeng amat sih orang cuman di sebelah. Tapi percayalah kawan, 'cuma di kelas sebelah' itu jauh. Sebab pertemanan gue dan Mimi itu nggak seerat jalinan tali temali pramuka. Gue bukan satu-satunya teman dekat Mimi. Dia masih punya yang lain---dan gue yakin akan terus bertambah karena dia tipe teman yang keibuan. Hilangnya eksistensi gue dalam kesehariannya di kelas nggak akan berpengaruh banyak bagi kehidupan sosialnya. Ini agak menyedihkan memang.

Beruntung, di kelas ini ada Mona, Disti, Rike, juga Fira. Mereka mendingan. Kami masih nyambung. Akan sulit kalau gue sekelas dengan yang lain, Tuti misalnya. Selain nggak memiliki konektivitas dalam hal apapun dengannya secara pribadi, Tuti juga punya pergaulan yang terlalu luas. Terlalu payah untuk gue jangkau. Lebih dari itu, sulit untuk melihatnya tanpa ingat sama Revan.

Mengenai Revan, anehnya, sejak jadi anak kelas sebelas, gue malah jadi semakin jarang melihat sosoknya. Padahal, berdasarkan kondisi tata letak kelas, kami seharusnya jadi lebih sering berjumpa. Anak Prima dan Eksekutif nggak pernah pindah kelas.

Ngomong-ngomong, dia udah nggak dengan si bocil. Tolong jangan tanya kenapa karena gue juga nggak tahu. Bosan mungkin? Jiwanya kan tipikal crocodile.

HAHAHAHAHAHAHA.

Oke, cukup.

Sejujurnya gue agak dongkol sama Revan. Bukan karena insiden bunga pelet, dipanggil-panggil waktu pulang sekolah, ataupun dilabrak kakak kelas. Bukan. Gue nggak peduli lagi sama itu semua. Udah lewat soalnya. Kali ini lebih ke ... apa, ya? Karena dia mematahkan kepercayaan gue, mungkin?

Berdasarkan studi kasus yang gue baca, secara psikologi, ketika seorang cewek bersikap dingin dan tak terjangkau maka si cowok akan jadi semakin penasaran. Apalagi jika seorang player, jiwa petualang asmaranya akan merasa tertantang. Gue percaya. Tapi, Revan mematahkan teori tersebut. Jangankan makin ngerecokin gue, dia tanya-tanya juga nggak. Bukannya makin penasaran, dia malah nyerah dan cari yang lain. Ya gue 'kan jadi kesal sendiri. Ini kok teori sama prakteknya sama sekali nggak relevan? Selama ini gue perpegangan pada teori yang salah apa gimana?

Ya bukannya gue pengin di pertahankan sih, bukan .... Gimana, ya? Lo ngerti 'kan maksud gue?

Nggak.

Lagian dia tuh pacaran sama si bocil itu juga kayak 'cuma-mau-pamer-aja' ke gue, tahu. Gue bisa merasakannya. Kayak ... lo nolak gue, Mey? Gue? Cowok paling dicintai satu kota ini? Hahaa, goblok lo! Gitu ....

Halah, nyangkal teros. Ngomong aja kalo nggak rela kehilangan kandidat bucin lo, asw!

HEH!

"Ada yang bawa laptop nggak?" tanya Disti.

Mona, Rike, Yudi, gue sepakat untuk menggeleng. Guru PKn kemarin menugaskan kami untuk membuat makalah. Dikumpul hari ini. Sebagian besar tugas kelompok udah selesai, tapi sebelum Disti selesai tahap finishing, keyboard laptopnya keburu kolaps. Jadilah kami berlima belum pulang.

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang