Satu bulan telah berlalu sejak terakhir kali Revan terlihat menunggu gue pulang di sekitar gerbang. Atau dua bulan, ya? Gue nggak ngitung. Yang jelas, udah lama. Kalau ditanya bagaimana kelanjutan hubungan gue sama dia, gue bakal jawab 'ya ... gitu'.
Karena memang ya ... gitu. Tahu, ah. Gue sendiri bingung. Sampai detik ini kami nggak pernah mengobrol secara langsung. Chat sedikit, nggak penting, dan cuma di awal-awal dia pedekate. Satu-satunya interaksi yang terjadi di antara kami adalah adegan waktu pulang sekolah itu: Theo memanggil gue, gue menoleh, mereka berdua tersenyum, gue melotot sebentar, lalu gue cabut. Nggak selalu waktu pulang sekolah sih, pernah di waktu lain, tapi adegannya memang benar-benar hanya itu. Nggak kurang dan nggak lebih. Dan, yah, yang memanggil gue selalu Theo. Kadang gue bertanya-tanya kenapa bukan Revan sendiri yang manggil gue. Ini sebenarnya yang suka sama gue Revan apa Theo? Demi apapun gue nggak pernah denger Revan yang bersuara. Nggak pernah. Tapi kalau dipikir-pikir, mau Theo atau Revan, gue rasa reaksi gue bakal tetap sama.
Oh iya, kalian penasaran nggak sih siapa cewek bongsor yang pernah nyamperin gue waktu habis upacara dulu? Hahaha, tadinya gue berpikir kalau dia adalah back-ingan Kak Mia. Semacam algojo gitu. Support system-lah istilah kekiniannya. Jadi, kalau gue berani macam-macam, mengganggu hubungan Kak Mia sama Revan misalnya, dia yang bakal ngajak gue baku hantam. Kami yang duel. Kak Mia tinggal menonton aja, nggak perlu ikut bergabung.
Tetapi, ternyata gue keliru. Kak Mia nggak naksir si Mesum. Dia bahkan punya cowok, kalau gue nggak salah dengar. Yang punya hasrat ingin memiliki Revano Putra Aji adalah si Algojo yang mukanya nggak selaw itu. Kak Mia hanyalah orang yang terjebak dalam posisi teman di antara mereka berdua. Di satu sisi dia teman dekat Revan, di sisi lain dia juga teman satu kelas Algojo. Terjawab sudah arti senyumannya yang sering dilempar ke gue: senyum serba salah. Kasihan banget.
"Mey, sini deh. Duduk sini." Okta menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Dia duduk di atas meja keramik yang menyatu dengan dinding.
Gue menurut. "Kenapa?"
"Gimana lo sama Revan?"
Eh?
"Ya ... gitu."
Okta tertawa. "Kayaknya nggak lancar."
Anda benar. Ganti gue yang tertawa. "Namanya juga nggak suka."
"Hahaha, kelihatan sih."
Gue ayun dua kaki gue yang menggantung. Enak juga duduk di meja keramik laboratorium. Adem.
"Kemaren itu dia sempet minta tolong sama gue buat deketin lo."
"Iya?" Waw. Gue baru tahu. Gue pikir si Mesum itu cuma minta tolong sama Riko-Dandi-Tuti.
"Tapi nggak terlalu gue gubris. Kalian sama-sama temen gue. Dan gue tahu Revan kayak apa. Playboy. Biarin aja dia usaha sendiri. Gini-gini gue nggak mau menjerumuskan lo," katanya sambil tersenyum.
Lagi, gue tertawa.
"Dia ngasih lo bunga, 'kan?"
"Iya, tapi gue jual."
Aelah tuker doang!
Ada aja bagian dari diri gue yang masih kekeh menyangkal.
"Serius? Astaga. Hahahahahaha."
Kemudian dengan mudahnya gue cerita semuanya. Mulai dari kejadian di perpustakaan, chat BBM, bunga, sampai perihal Revan yang sengaja menunggu di dekat gerbang kalau pulang sekolah. Gue cerita secara lengkap. Full version. Padahal biasanya gue cuma cerita sepenggal-sepenggal ke orang lain. Aura pendengar dan pemberi saran yang Okta miliki memang keren.
"Lo beneran nangis waktu minta maaf?" Mukanya kaget. Reaksi yang tergolong standar mengingat sikap gue ke Revan yang kontradiktif.
Gue nyengir. "Jangan bilang-bilang ke orang ya?"
"Revan tahu?"
"Ya nggaklah." Gue sedikit memekik. "Kan minta maafnya lewat chat."
Mata gue beredar. Memindai laboratorium fisika yang kini udah rapih. Anak kelas dua belas sebentar lagi ada ujian praktik. Kalau udah begini, kami selaku kelas sepuluh bakal sering jadi babu panggilan buat bersih-bersih ruangan. Biasanya yang memanggil adalah guru terkait bidang mata pelajaran. Jadi, meski malas, kami nggak rugi-rugi amat. Paling nggak nilai Fisika semester genap kami aman.
"Lo tahu nggak? Denger-denger, Revan udah dapet yang baru."
Gue menoleh santai. Gue udah dengar desas-desus ini sejak beberapa hari yang lalu. Andalas punya lebih banyak murid berjenis kelamin perempuan ketimbang laki-laki, jadi sangat bisa dimaklumi kalau berita asik semacam ini cepat menyebar. Apalagi, sepengetahuan gue, 'si baru' memiliki saudara di sini.
"Denger, kok. Tapi gue nggak tau siapa."
"Katanya adik Riana."
Hah?
"Sepupu maksudnya?"
"Enggak, adik kandung."
Tawa gue langsung pecah.
Adik kandung? HAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Serius? HAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Ini nggak ada yang lebih lucu lagi? HAHAHAHAHAHAHAHAHA!
Kita masih kelas sepuluh loh, Van. Adik Riana kelas berapa? SMP? SD? TK? Baru lahir? Astaghfirullah ....
Okta bingung. "Kok ketawa?"
Gue hapus air yang terkumpul di sudut-sudut mata. "Adik Riana sekolah di mana?"
"Tuh, SMP pojokan kita. SMP Juara."
Gue lagi-lagi tertawa.
"Kenapa sih?"
"Nggak pa-pa. Pfft ...," aduh susah berhenti. "Nggak kepikiran aja dia bakal nyari yang begitu. Maksud gue, SMA kita nggak kekurangan stok cewek cakep loh. Kalo kurang juga itu masih ada SMK depan kita pas. Ada juga MAN, serong kiri kita. Kenapa dia milihnya SMP serong kanan? Kenapa coba? Nggak sekalian SD belakang? Atau TK arah kosan gue? Hahahahaha."
Aduh maaf, kawan-kawan. Gue nggak bisa menahan diri. Gue nggak suka ide age gap di dunia nyata---kalau di film atau cerita sih gue oke. Mengetahui Revan menjalin hubungan model begitu bikin gue sedikit banyak shock.
Dan geli.
Sebenarnya masih normal, sejauh-jauhnya usia Revan sama adik Riana ini, mereka cuma terpaut empat tahun---kita asumsikan skenario terburuk, kalau-kalau adik Riana masih kelas tujuh. Mereka akan terlihat baik-baik saja di ktp, kartu keluarga, dan buku nikah nanti. Tapi kan, kita-kita ini masih piyik. Masih piyik! Mau cuma beda empat tahun juga judulnya tetap 'Anak SMP dan anak SMA'.
Idih, gue makin ilfeel. Di mata gue sekarang, selain maniak, Revan juga seorang pedofil.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Ficção Adolescente[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...