Hari Senin itu selalu panas. Gue nggak tahu kenapa. Pernah nggak lo ngitung berapa kali hujan dan tanggal merah di hari senin dalam setahun? Pasti sedikit. Mirip-mirip kayak catatan amal baik.
Dan siapapun yang memilih hari Senin sebagai hari Upacara Bendera, gue yakin dia pasti mengerti ilmu perdukunan---no offense, ya---atau dia adalah orang paling ajib sejagad sampai-sampai tahu hari apa yang paling jahat---yang sekiranya mampu menggembleng jiwa nasionalis pemuda bangsa supaya nggak pernah absen ikut upacara. Pinter banget memang.
Tapi maaf hari Senin, lo nggak bisa memaksa gue mengeluarkan tenaga lebih besar guna melangkah lebih cepat dan lebih panjang.
Meskipun sekarang sudah jam tujuh lewat lima menit? Yap, meskipun bel masuk sudah ribut lima menit yang lalu. Meskipun lapangan upacara hampir penuh? Iya, meskipun sekarang gue harus melawan arus lautan manusia yang berbondong-bondong menuju lapangan dengan susah payah karena lokasi lapangan yang nggak ditengah sekolah tapi di depan. Meskipun teman-teman sekelas yang tersisa di koridor tersenyum aneh ke arah gue? Ho'oh, meskipun mereka terse---apa tadi?
Jalan gue melambat demi melihat Tuti, Dandi, dan Riko yang mukanya jadi aneh akibat cengiran penuh maksud yang maknanya sama sekali nggak bisa gue tangkap itu.
"Kenapa?" Gue langsung menghadang Tuti yang mau gabung ke rombongan anak-anak bertopi di belakang gue.
"Enggaaaak ...." Cengirannya malah semakin lebar, diikuti Dandi dan Riko yang tertawa lirih.
Kenapa, nih? Ada yang aneh sama gue? Apa gue salah kostum?
Yakali sih gue pake baju pramuka di hari pertama sekolah.
Eh? Apa iya?
Gue menatap badan gue sendiri. Enggak.
Trus kenapa, dong?
Karena sama sekali nggak paham apa salah gue sampai-sampai diliatin segitunya, gue putusin buat nggak terlalu mikirin apa yang terjadi barusan. Gue segera masuk kelas dan meletakkan tas di kursi. Niat hati pengin langsung keluar dan bergabung sama anak-anak lain ke lapangan, tapi urung karena gue menangkap basah Riko yang mengintip lewat jendela.
Fyi, Riko itu mukanya konyol, gue ngerti dia pasti kesulitan menyembunyikan rahasia. Kasihan gue kadang-kadang.
Matanya melirik-lirik ke meja.
Hm, ada apa dengan meja gue?
....
Tunggu-tunggu, apa ini ada hubungan sama---tangan gue masuk laci---anjrit!
Jujur, ini baru buat gue, tapi bukan berarti gue nggak ngeh sama apa yang diletakkan 'seseorang' di laci meja ini meskipun bendanya cuma gue grepe. Tanpa melihat langsung saja gue sudah tahu ini apa.
Benda ringan, berplastik bening kaku yang mencorong ke salah satu sisi dan memiliki tangkai-tangkaian dari bambu yang gue tebak warnanya hijau.
Jelas bukan magiccom.
Itu bunga. Bunga-bungaan dari kain flanel.
Dan gue tahu siapa pengirimnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Fiksi Remaja[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...