43. 2018/2019 - (sensor)

151 30 17
                                    

Dulu gue kira orang yang suka memblokir kontak mantan adalah orang paling alay di seluruh dunia. Maksud gue, halo ...? Kenapa, sih? Harus banget ya melakukan hal kekanakan kayak gitu? Kan nggak perlu gitu, lho. Jadilah orang keren yang meskipun memiliki hubungan buruk dengan insan lain, tetap nggak menutup jalan untuk insan tersebut bersilaturahim.

Begitu.

Namun sekarang gue ngerti kenapa kebanyakan orang melakukannya. Ini bukan masalah buka-tutup jalan, sayangku. Ini tentang kita sendiri yang harus berhenti berharap kepada si insan untuk bersilaturahim melalui jalan tersebut. Perempuan memiliki kecenderungan menunggu, juga menanti untuk dihubungi. Dan di sela-sela kegiatan itu biasanya mereka akan ... stalking.

Berhubung gue perempuan jadi ya ... gue juga.

Kadang gue menemukan tangan gue bergerak sendiri menuju akun sosial media milik Juna. Entah itu Instagram, Whatsapp, bahkan Facebook pun gue sambangi, cuma buat scroll-scroll nggak jelas. Lihat-lihat apa isi akun dia yang demi apapun udah gue lakukan berpuluh-puluh kali. Sumpah, baru kali ini gue sekepo itu sama orang. Seolah kalau gue berkedip sekali aja gue bakal ketinggalan banyak update-an dari dia. Padahal gue tahu kalau Juna tipe orang yang jarang mempertontonkan kegiatannya ke khalayak.

Konyol banget, 'kan?

Oleh sebab itu, gue mulai berpikir kalau memblokir kontak Juna adalah opsi terbaik untuk saat ini. Yak, betul. Gue akhirnya memblokir nomornya. Whatsapp doang, sih. Kalau Ig gue takutnya tar nggak se-follow-an lagi, sedangkan Facebook gue rasa nggak perlu karena sejatinya gue udah nggak pernah main dan kami nggak berteman.

Setelah aksi pemblokiran itu secara ajaib gue merasa lebih lega. Kayak ... wah, lepas nih gue. Mungkin pertama-pertama agak kaget karena namanya jadi nggak pernah muncul di story WA, juga absen di daftar viewers story gue, tapi nggak apa-apa. Lama-lama gue terbiasa dan itu sangat menyenangkan. Malam-malam gue jadi lebih tenang. Tanpa terpikir tentang Juna dan segala kenangan kami.

Gue baru membuka blokirannya tatkala gue merasa intensitas mengingat Juna menurun drastis dan gue udah move on. Tapi begitu dia putus dan reply story, gue goyah lagi. Akhirnya ruang chat kami hidup lagi.

Nggak berselang lama, dia kembali punya pacar baru.

Lalu gue sakit hati lagi. Berujung block lagi.

Kadang gue nggak nunggu dia punya pacar baru dulu untuk gue blokir. Semau dan seinget gue aja. Kalau gue ngerasa udah terlalu sakit, block. Ngerasa sembuh, unblock.

Block-unblock terus sampai rasanya gue benar-benar jadi goblok perkara Juna.

Padahal di kelas TPB ada loh cowok potensial yang bikin gue tertarik. Cuman apa ya ... kek ... nggak tahu, deh. Memori tentang Juna udah terlanjur banyak yang tersimpan di kepala gue. Sulit untuk mengadunya dengan memori tentang cowok lain yang masih sedikit.

Sampai di satu fase, gue udah terlalu lelah dengan segala upaya penyelamatan diri yang nggak ada efeknya ini. Gue nggak mau nahan-nahan diri lagi.

Posisi gue ada di rumah nenek kala itu---lagi libur, dalam kondisi gabut segabut-gabutnya. Malam itu jadi malam yang sangat-sangat bersejarah dalam dunia per-chatting-an antara gue dan Juna. Untuk pertama kalinya gue chat dia duluan---sepanjang yang gue ingat. Langsung chat, ya. Bukan reply story. Walau gue yang reply story dia juga jaaaaaaaaaaarang banget, sih. Nggak nyampe lima kali kalo gue nggak salah.

Artajuna B

Hei

Knp?

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang