Biasanya kalau gue udah siap pulang, udah minta jemput berjam-jam sebelumnya dan udah menunggu sekian lama sampai menjelang isya, tapi Papa akhirnya ngasih kabar kalau nggak bisa jemput, gue bakal dongkol setengah mampus. Minimal mau nangis. Maksimal batin gue menjerit---sambil nangis: kenapa nggak dari tadi, sih, Paaaaaa?! Kenapa nggak dari siang waktu aku kirim pesan dan nelpooooooon?! Kalau dari awal bilang nggak bisa jemput, 'kan, akunya nggak berharap! Iiiiiiiiiiiiiiiihhhh! Gitu. Kurang lebih. Kurang, sih, kayaknya.
Namun, pembatalan sepihak perkara jemput-menjemput yang Papa lakukan kali ini nggak menyumbangkan perasaan sesak di dada gue. Sama sekali. Mata gue nggak merah waktu Papa bilang nggak jadi datang, tenggorokan gue nggak tercekat waktu Papa bilang gue nggak usah pulang. Malah, gue bisa menjawab 'oh, oke' ke Papa dengan mudahnya. Datar. Tanpa rasa kesal atau amarah barang secuil.
Dari situ gue tahu ada yang nggak beres sama diri gue. Ini aneh. Terlalu aneh. Gue udah merasakan kejanggalan ini sejak gue diantar pulang Disti. Makin lama makin terasa. Rasanya seperti ada perasaan lain yang lebih dominan dari sekadar rasa sebal akibat di-PHP-in Papa sendiri. Ada perasaan yang lebih kuat.
"Lo beneran nggak jadi pulang, 'kan, Mey?"
Pertanyaan Kenny gue jawab dengan gelengan kepala.
"Yes!" seru Kenny sembari bangkit dari duduk. Segera dia berdiri dan menggapai pintu.
"Mau kemana?"
"Mau bilang ke Ayu malam ini nggak jadi minta temenin, hehe," katanya.
Kemudian Kenny langsung cabut. Keluar menuju kamar Ayu yang berada tepat di sebelah kanan. Meninggalkan gue yang tiduran di atas karpet dengan pikiran berkecamuk.
Gue belum bilang ke Kenny kalau gue ikut klub film pendek. Dia belum tahu apa yang gue alami.
Sejujurnya gue agak linglung dengan apa yang terjadi sore tadi. Semua ini terlalu banyak, terlalu menguras emosi. Gue jadi merasa kosong. Bukan kosong yang lega, tapi kosong yang aneh. Kekosongan ini menjadi pemicu gue nggak bereaksi macam-macam walau gue akhirnya batal pulang. Kekosongan yang mengherankan.
Kayak ... ibaratnya, nih, ya, lo terbiasa makan roti tawar tanpa apa-apa, enak-enak aja, 'kan, awalnya? Terus tiba-tiba roti tawar yang putih bersih itu disemprot selai sama bocah dan lo marah karena nggak terima. Waktu makan 'Ih, apa, sih, ini? Aneh!', tapi waktu balik makan roti tawar doang, lo udah nggak sreg lagi. Udah merasa ada yang kurang.
Nah, itu. Itu. Kosong yang begitu.
Gue memang suka kesulitan mendeskripsikan sesuatu. Nggak ahli, maaf. Tapi kalau disuruh menyimpulkan perumpamaan gue barusan dalam bahasa rakyat bumi, sepertinya 'kecanduan' adalah kata yang tepat. Atau 'ketagihan'. Atau 'Ya, ampun, nggak boleh, goblooooooook! Nggak bisa, ini nggak bisa! Bahaya, heh!'.
Cklek!
Pintu di buka. Kenny masuk dalam waktu singkat, kemudian menutupnya kembali nggak kalah cepat.
Fix, gue harus ngomong sama Kenny. Gue harus meringankan beban yang bergelayut manja di pundak ini! Gue mengubah posisi yang semula telentang menjadi duduk. Lalu menatap Kenny dalam diam. Kira-kira apa reaksi Kenny kalau gue cerita, ya?
Bingung, Kenny kontan bertanya, "Kenapa?"
Gue ambil udara melalui hidung banyak-banyak. Tarik napas. Oke, ini dia. "Gue tadi kumpulan film."
"Oh, lo gabung film pendek?"
Gue mengangguk.
"Gimana?"
"Em ... nggak gimana-gimana, sih. Tapi," gue memilih kalimat, "Juna memang semenjengkelkan itu, ya?"
Wajah Kenny berubah. "Oh?! Akhirnya lo merasakan, ya .... Hahaha. Dua tahun gue sekelas sama dia, Mey. Jalan tiga." Kenny nyengir kecut. "Dia memang gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Fiksi Remaja[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...