Makin ke sini, persiapan sendratari makin sibuk. Pengerjaan gapura dari triplek ternyata lebih lama dari yang gue kira. Pun begitu dengan pembuatan candi, pemilihan konsep pakaian, rumbai-rumbai dari plastik rafia untuk kostum jin, bahkan sampai yang kecil-kecil seperti kalung buatan dari kardus untuk para pemain. Hampir dua minggu kerja rodi setiap pulang sekolah berlangsung, tetapi belum ada yang selesai juga. Jadi, gue putuskan minggu ini gue nggak pulang ke rumah lagi. Papa yang datang ke kosan.
"Ya udah, Papa pulang, ya?" Ow, dan sekarang udah mau pulang.
Papa meletakkan gelas kopi yang ditandaskannya barusan. Lalu bangkit disusul gue dan Kenny. Setelah acara salim-salim, Papa keluar. Sementara gue dan Kenny bertahan di ambang pintu. Gue merapatkan selimut yang gue pakai. Udara malam sehabis magrib dingin.
"Assalamualaikum," pamit Papa.
Gue dan Kenny menjawab berbarengan, "Waalaikumussalam."
Kadang gue nggak tega kalau Papa pulang malam-malam begini. Hawa dinginnya bisa sangat menusuk tulang karena Papa hanya memakai sepeda motor. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Papa sendiri hobi berkunjung ke kosan jam lima sore. Mau nggak mau harus menunggu azan magrib selesai kalau mau pulang.
Ya ... jarak rumah ke kosan nggak jauh-jauh amat, sih. Satu jam juga nyampe, sebetulnya. Cuman jalannya jelek. Banyak lubang. Gue pernah nyoba pp alias pulang-pergi seminggu pas adik gue dikhitan sewaktu kelas sebelas, boncengan dengan salah satu tetangga gue---anak STM nggak jauh dari Andalas---yang memang pulang-pergi ke sekolah. Rasanya? Capek. Badan rontok semua dan yang paling bikin gue nggak kuat adalah ... gue harus mandi subuh-subuh. Juga harus tahan buat nggak menjerit dibonceng temen gue yang ... ya Allah ..., ngebutnya nggak kira-kira! Itu, satu jam yang gue bilang barusan, bisa disingkat jadi setengah jam kalau berangkatnya bareng dia. Udah sarapan angin pagi-pagi buta, nggak bisa peluk, lagi. Teman gue cowok. Enak di dia nanti.
"Hati-hati, Pa," kata gue. Papa hanya mengangguk dengan helm terpasang di kepala.
Kemudian motor Papa melaju meninggalkan kosan.
"Bokap lo gimana, Ken? Nggak dateng?"
"Nggak. Duit gue dititipin ke Om gue. Besok temenin gue ngambil, ya?" pintanya.
"Om lo yang di gang Pisang, itu? Yang masuknya lewat masjid putih?"
"Iya, yang itu."
"Oke, tapi sorean, ya. Gue besok kerja rodi lagi buat sendratari."
"Iya. Gue, 'kan, pulang sore juga."
Gue terdiam sebentar. "Oh, iya, kelas lo ngerjain sendratarinya gimana? 'Kan, belajarnya sampe sore."
Kenny nyengir. "Ya nggak ngerjain apa-apa."
"Lho?"
"Lo kayak nggak kenal anak Eksekutif, anjir. Main duit, lah. Semuanya nyewa, nggak ada acara bikin-bikin," terangnya sambil terkekeh. "Oh, ada, ding. Nanti, tapi. Di akhiran. Bikin bambu yang ujungnya ada kreasi janur kuningnya."
"Kurang ajar." Gue ikut terkekeh. Memang udah jadi rahasia umum di Andalas kalau anak-anak Eksekutif dan Prima itu terkenal banyak duitnya. Nggak hanya jam belajar, uang SPP mereka juga berbeda dari anak Reguler.
"Emang kelas lo angkat cerita apa?"
Kenny tampak berpikir. "Lupa. Dari bali pokoknya."
"Idih! Cerita kelasnya sendiri, kok, nggak hafal," cibir gue. "Pemerannya?"
"Aji."
Jawaban Kenny bikin dahi gue berkerut heran. Meskipun sendratari ini judulnya 'ditonton seluruh anak Andalas', asasnya tetap sukarela alias nggak wajib. Jadi ya semau-mau mereka mau menonton atau enggak. Nah, yang jadi soal, banyaknya penonton menjadi salah satu indikator penilaian tugas akhir ini. Sebab itulah, untuk menarik minat anak-anak Andalas, kemampuan marketing itu perlu. Salah satu strategi yang udah terbukti ampuh dan telah digunakan secara turun temurun adalah dengan menggunakan jasa tampang anak-anak populer. Dengan kata lain, mendapuk mereka sebagai pemeran utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Teen Fiction[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...