Semakin ke sini, semakin gue nggak nangkep apa sebenarnya makna dari hari libur. Maksud gue, pernah nggak sih lo merasa kalau hari libur itu nggak semenyenangkan dulu? Padahal pas kecil rasanya libur tuh hal yang paling membahagiakan ... banget. Kayak 'Woah, hari ini libur. Asik!' gitu. Sekarang mah buat gue datar-datar aja. Sama kayak hari-hari biasa. Nggak spesial. Kayak nggak ada beda signifikan di antara keduanya selain fakta kalau elo nggak harus berangkat ke mana-mana.
Entah karena memang makin lama hari libur itu makin kehilangan esensinya atau karena gue aja yang makin lama makin dewasa. Dunia orang dewasa 'kan memang nggak ada yang enak.
Atau, bisa jadi juga, karena gue jomlo dan nggak punya teman yang deket-deket banget aja.
Hmm.
Yang jelas, hari ini hari libur. Libur semester ganjil yang merangkap libur tahun baru.
Gue ada di rumah.
"Kamu lihat nggak yang tadi lewat itu?" Mama melihat keluar jendela. Mau nggak mau gue ikut menoleh.
"Enggak. Emangnya kenapa, Ma?"
"Tadi ada cowoknya si Lani. Anak blok G kayaknya," kata Mama tanpa menatap gue. Kami berdua ada di ruang tamu yang merangkap ruang tv. Sebuah ruangan panjang yang kata Mama sengaja nggak disekat supaya kalau ada pengajian giliran tiap hari Jum'at, ruangannya cukup untuk menampung semua jemaah.
Gue menarik napas perlahan, sadar kalau ini bakal berbuntut panjang. Kalimat Mama barusan adalah pembuka dari siraman kalbunya siang ini. Hasrat untuk kabur ke kamar serta merta timbul di hati anak gadisnya yang durhaka.
"Itu, lho. Anaknya Pak ... Pak siapa, ya? Pak Gun," terangnya. Mama adalah tipe emak yang aware dengan lingkungan, nggak heran kalau paham betul dengan orang-orang di sini. Lagipula, meski judulnya blok G, lokasinya ada di sebelah blok gue---blok A.
Tolong jangan tanya kenapa bisa melenceng jauh begitu karena gue juga nggak tahu. Semua blok berurutan kecuali blok G.
"Oh ...." Gue menanggapi sekenanya. Nggak enak kalau cuma diam.
"Heran, Mama. Masih sekolah kok udah bawa-bawa pacar ke rumah."
Alis gue bertautan. "Ya kan kalo di rumah terang, Ma. Kalo di tempat remang nanti digerebek."
Mama tertawa. "Mana ada. Kalo udah dibawa ke rumah, dikenalin ke orang tua, itu artinya udah serius. Lagian masih sekolah harusnya nggak usah pacar-pacaran. Fokus belajar."
Gue menatap kusen pintu kamar. Kuliah umum sudah dimulai, saudara-saudara.
"Mama dulu gitu. Nggak peduli sama cowok-cowok yang lempar-lempar kertas buat nembak. Mama balikin," kata Mama---entah yang ke berapa kalinya sejak gue lahir ke dunia ini. "Prinsip Mama, sekolah ya sekolah. Kalo udah lulus, baru beda cerita."
Gue ganti menatap hordeng. Pa kabar, Deng? Sehat?
"Kamu juga. Kalo mau pacar-pacaran, nanti aja pas lulus SMA. Sekarang jangan dulu."
Gue pindah buka Whatsapp. Ini nggak ada yang mau nelpon gue apa gimana, sih? Help banget, please ....
"Denger, nggak?"
Auh, terlambat.
"Iya .............................................."
Dan bertambahlah alasan kenapa gue harus betul-betul menjauh dari Juna selain fakta kalau dia punya komitmen dengan wanita lain: restu orangtua.
Hah ....
*****
Kalian inget nggak, sih, gue pernah bilang kalau di kosan adalah saatnya gue quality time dengan ponsel dan di rumah adalah saatnya gue quality time dengan televisi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Teen Fiction[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...