30. 2017 - Strategi Paling Ciamik

135 31 7
                                    

Gue tahu gue bukan tipikal cewek primadona yang jadi incaran cowok satu sekolah. Kalau boleh dianalogikan, gue itu ibarat bunga kaktus. Cakep, tapi tetap bukan bunga yang akan dipuja-puja orang karena keindahannya. Bahkan, duri kaktus yang tajam lebih populer dari pada kembang tanaman itu sendiri. Lebih ikonik.

Begitupun gue. Ketimbang paras yang lumayan, gue rasa muka galak dan tatapan garang yang gue punya jauh lebih dikenal sama anak-anak Andalas. Wajah gue ini rupa-rupanya kayak model produk garmen yang lagi jalan di catwalk; songong, dingin, ketus, nggak ada ramah-ramahnya. Paduan bentuk alis dan mata gue yang gampang bereaksi kadang juga menyusahkan. Sedikit aja ototnya ditarik gue kelihatan kayak mau menantang orang. Ditambah sifat gue yang suka ngegas, lengkap sudah.

Pernah, pas kelas sebelas, gue tanya ke Mita. Katanya begini, "Gimana ya, Mey ...?" dia tertawa kikuk, "Lo tuh serem. Kadang kalo papasan di jalan aja gue mikir-mikir dulu mau nyapa lo apa enggak. Hehe."

Gue nggak tahu harus jawab apa ke Mita selain bilang kalau muka tanpa ekspresi gue memang begitu dan gue nggak pernah bermaksud. Padahal Mita adalah teman sebangku gue. Seharusnya dia tahu kalau nggak kayak gitu. Gue lumayan ekspresif kok di kelas. Lumayan sering menunjukkan berbagai macam mimik wajah dan emosi. Hal yang jarang banget gue tunjukin kalau di luar.

'Kalau yang sekelas dan sebangku aja berpikir begitu, apalagi yang enggak?' Logikanya gitu ya nggak, sih? Iya, 'kan? Tapi anehnya, enggak .... Ada aja anak-anak yang melenceng dari teori. Selain jamet-jamet IPS yang selalu kelihatan kayak berambisi menerkam gue, ada rombongan Mey's Lovers---ini yang memberi julukan Kenny lho ya---yang kelihatan seperti sangat mengidolakan gue. Oke, mengatakan kalau rombongan beranggotakan lima orang cowok itu nge-fans sama gue mungkin agak hiperbol, tapi tetap nggak mengurangi rasa risih yang gue rasakan kalau ketemu sama mereka. Kayak ... tolonglah, bujang. Plis. Berhenti menatap gue rame-rame di muka umum sambil cengengesan begitu!

Oleh sebab itu, ketika mendengar selentingan kalau salah seorang dari lima cowok itu, yang dulu pernah ketahuan membuat doodle art yang ada nama guenya, si Edgar, mau datang ke kelas gue buat memberikan sesuatu, gue agak panik. Gue udah parno duluan kalau orang yang mau dia samper dan beri sesuatu itu adalah gue.

Tapi, tunggu. Tunggu-tunggu-tunggu. Kalau memang gue, kenapa anak kelas gue banyak yang heboh? Maksudnya, dari mana mereka tahu? Dan gue lihat-lihat juga, nih, ya, mereka sama sekali nggak melirik gue atau melakukan aksi-aksi lain yang sekiranya menunjukkan kalau dugaan gue benar. Gue mencium bau-bau kejanggalan.

"Si Edgar mau dateng, tuh, Ra. Kyaaaaa ...."

"Ecieeeee ...."

"Ekhem-ekhem!"

"Tinggal nunggu peje aja, nih, kita-kita."

"Apaan, sih, kalian, ih."

Kegaduhan mulai terdengar dari arah balkon. Segera gue dan beberapa anak lain keluar. Benar aja, begitu sampai di koridor depan kelas, kegaduhan itu semakin terdengar jelas. Anak-anak perkipopan kelas gue yang berdiri berderet-deret sambil melongok ke bawah itu cekikikan.

Di bawah pun juga nggak kalah ribut. Dengungan suara penuh kalimat godaan terus aja diberikan kepada Edgar yang entah ada di mana. Kelasnya---11 IPS 4---yang terletak berseberangan dengan kelas gue tapi di lantai bawah kacau oleh sahutan cewek-cewek. Mereka semua nyengir dan tertawa-tawa. Kelihatan dari jendela.

Gue mencolek cewek di samping gue.

"Ada apaan, sih?"

"Itu, si Edgar mau dateng ke kelas kita."

"Mau ngapain?"

"Ngasih sesuatu ke Zahra."

Mata gue kontan membulat secara dramatis. WOWOWOWOWOOOOOW APA NIIIH ...?

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang