Awalnya gue pikir absennya eksistensi Hanafi dalam dunia perpesanan gue bakal bikin hari-hari menjadi lebih suram. Ternyata nggak juga. Waktu terus berlalu. Gue, meski agak merasa sepi juga pada awalnya, menjalani hari-hari seperti biasa. Tidur, makan, minum, buang air, sekolah, mengerjakan PR, memasak, mengobrol, beli paket internet, marah-marah, jajan di kantin. Semua kegiatan itu mampu gue lakukan tanpa merasa kurang suatu apapun. Seolah Hanafi hanyalah seorang kurir paket, yang meskipun kedatangannya bikin bahagia, dia cuma ditakdirkan untuk lewat.
Yah, gue menyayangkan sikap gue sebelumnya yang diam aja padahal dia jelas-jelas nungguin gue, sih. Sayang banget emang gue malah memilih lari begitu. Coba aja kalau gue lebih dewasa, lebih bisa mengontrol diri. Atau paling nggak bisa mengenyampingkan sikap egois gue, lah. Pasti hubungan gue dan Hanafi nggak akan sedingin dan se'hilang' ini. Bagaimanapun juga bukan cuma gue yang perasaannya harus dipikirkan, dia juga. Malah setelah gue pikir-pikir dampaknya lebih gede ke dia. Udah hubungannya nggak lancar, putus, di-PHP-in cewek, lagi. Duh.
Tapi, apa mau dikata. Ketika gue rasa gue udah siap buat ketemu, Hanafi udah berhenti nungguin gue. Sosoknya yang tinggi menjulang udah nggak pernah lagi terlihat di dekat gerbang depan. Mungkin dia udah lelah dan berpikir kalau semua udah terlalu basi buat diomongin. Gue juga nggak bisa sembarangan nyariin dia. Salah-salah opini publik bisa kembali tergiring dan gue dikira beneran ada apa-apa sama Hanafi.
Kini yang bisa gue lakukan hanyalah bersyukur. Semuanya baik-baik aja, alhamdulillah. Gue lihat-lihat Hanafi masih sehat wal afiat. Malah kabarnya dia lagi dekat dengan salah satu anak IPS, yang kebetulan dulu satu SMP sama gue. Namanya Eni.
Ini agak lucu, sebetulnya. Di antara semua anak cewek Andalas angkatan gue, kenapa harus yang satu SMP sama gue, coba? Padahal alumnus SMP gue di sini nggak sampai lima belas orang. Bukannya nggak suka, iri, atau bagaimana. Masalahnya kami saling kenal. Entah didorong rasa segan karena track record gue di SMP atau murni karena dia tahu gue pernah dekat sama Hanafi, Eni ini jadi takut-takut gimana ... gitu kalau ketemu sama gue. 'Kan, jadi nggak enak.
"Mey, mau ikut, nggak? Gue sama Disti mau beli minum." Seruan Mona dari bangkunya memecah lamunan gue.
"Nggak, deh." Gue terpaksa menolak. Istirahat pertama udah lewat. Gue udah makan, minum dan jajan. Udah kenyang.
Kelas sedang jam kosong, kawan-kawan. Sejak bel masuk setelah istirahat pertama hingga sekarang udah hampir mau istirahat kedua. Tadi gue menyibukkan diri dengan bermain kartu BoBoiBoy---hadiah Choki-Choki hasil minta dari bibi kantin nomor satu---bersama Yudi dan Dea. Tapi udah bubar karena jam kosongnya kelewat lama dan kami udah bosan. Sekarang gue nggak ada niat mau ngapa-ngapain lagi selain---
"Ahahahaha ...."
diam---
"Ahahahaha ...."
dan---
"Ahahahaha ...."
bengong.
"HAHAHAHAHAHAHAHA ...."
"Iiiiiiih, kenapa sih, Yuuud?!" Gue menoleh ke bangku sebelah gue. Pada Yudi yang sedang memutar drama Korea dengan sepasang earpods di telinga. Kami sama-sama berada di meja Dea. Terlalu mager untuk pulang ke meja sendiri. Padahal si empunya meja udah minggat entah kemana.
"Enggak, lucu aja."
"Lo nonton apaan, deh?" Gue melirik ponselnya.
"Goblin."
"Aelaaaah .... Di Ig, Goblin. Di portal berita, Goblin. Story WA, Goblin. Goblin aja terus semuanya."
"Bagus, Mey."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Fiksi Remaja[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...