22. 2016 - Tenderloin dan Freon Kulkas

179 51 7
                                    

Gue masih nggak habis pikir. Gimana bisa Hanafi yang gue yakini adalah teman seru gue di Andalas malah jadi suka sama gue?! Bisa-bisanya bocah itu Ya Allah ..., pusing! Sakit kepala gue. Dia ingat pacarnya nggak, sih? Ingat, nggak? Enggak? Bilang! Gue dengan senang hati mau kok mengingatkan. Gue bikinin alarm, bila perlu. Saban hari. Senin sampai minggu.

Gue juga nggak suka, ya, Hanafi menunjukkan ketertarikannya dengan cara seperti itu. Terang-terangan senyam-senyum malu di depan umum begitu. Oke, mungkin dia memang nggak bisa menahan. Tapi, tolonglah. Tolong banget. Dikendalikan, dong. Gue 'kan jadi merasa tertumbalkan di sini. Orang-orang pasti berasumsi kalau perasaan Hanafi ke gue itu berbalas. Di mata mereka gue juga suka sama Hanafi. Gue pasti dikira perempuan penggoda yang merusak hubungan asmara Hanafi dan pacarnya.

Gila. Seumur-umur gue nggak pernah menyangka, setelah penolakan keras terhadap Revan, gue bakal terlibat dalam kasus kriminal lain kayak begini. Gue jadi---terduga---perebut lelaki orang, bayangkan! Ini kalau Ibu Susi Pudjiastuti tahu, nih, beliau pasti sangat kecewa. Ketahuan banget gue anak kosan yang nggak pernah makan ikan. Otaknya nggak pernah disuplai omega tiga. Makanya goblok.

Yang lebih miris, 'orang-orang' yang gue maksud di narasi gue sebelumnya juga berpotensi menjadi 'seluruh anak Andalas' mengingat ada tiga cewek populer dari kelas Prima dan berpuluh-puluh jamet IPS yang menonton secara live adegan serah terima kotak bekal itu. Warga kelas 11 IPA 3 yang berkeliaran di depan kelasnya belum dihitung, ya. Juga kemungkinan kalau anak kelas lain ikut melihat. Singkatnya, terdapat banyak saksi mata. Bikin kerja otak gue makin berat mengkalkulasi waktu guna mengukur kecepatan penyebaran berita skandal gue yang terbaru.

"Udah, sih, Mey. Nggak apa-apa." Yudi secara sukarela mendeklarasikan diri sebagai sasaran pelototan mata gue.

Enak banget, ya, congornya kalau ngomong. Nggak apa-apa? Nggak apa-apa, katanya?!

"Lo nggak liat, sih, muka cowok-cowok IPS tadi! Melongo, Yud! Melongo alias ... ya, melongo! Tau melongo, 'kan, lo?!"

Yudi terdiam sebentar sebelum berkata lagi, "Mungkin mereka iri?"

"Iri?!" Alis gue semakin menukik. "Iri apanya?! Mereka ngeliatnya gue itu suka sama Hanafi! Mereka pasti juga mikir gue bikin makanan buat dia! Gue keliatan kayak ...," gue bahkan nggak sanggup mengatakannya. "Argh!"

"Iya-iya. Nggak usah ngegas, dong ...."

Gue tersentak. Sadar kalau emosi gue lagi-lagi nggak terkontrol. Gue marah ke orang yang nggak bersalah. Tatapan mata gue melemah.

"Nih, minum." Yudi mengulurkan tumblernya.

"Sori," kata gue seraya meraih botol minum Yudi---kenyataan kalau gue punya botol yang mirip seperti miliknya nggak lantas membuat gue rajin bawa air minum. Kemudian menenggaknya beberapa teguk. Berharap kalau air dingin yang memasuki kerongkongan gue dapat mencapai hati gue biar nggak panas-panas amat. Sayang, si air minum lebih memilih untuk masuk ke lambung. Jadi, alih-alih dada, yang adem malah perut kiri gue.

"Hah," gue membuang napas lelah. Masalah bala tentara kepo yang berasal dari kelas Prima gue nggak terlalu peduli. Meskipun mereka anak populer, gue nggak kenal sama sekali. Gue nggak terlalu keberatan digunjingkan mereka. Toh sebenarnya mereka juga nggak kenal gue.

Yang jadi soal adalah cowok-cowok yang menongkrong di lorong tadi. Para jamet IPS yang jumlahnya puluhan itu. Kami nggak ada hubungan apa-apa, sebetulnya. Tapi, sama halnya dengan Revan, eksistensi jamet-jamet IPS ini mengganggu gue. Mereka punya kelakuan yang mirip-mirip kayak anak tongkrongan tipe adab-less alias nggak punya adat. Gue nggak suka. Berhubung jumlah mereka ada banyak, tingkat menyebalkannya jadi bertambah berkali-kali lipat. Gue nggak rela disalahpahami oleh mereka. Nggak sudi. Gue nggak mau diri gue terlihat seolah-olah ... iya-iya, ini perihal ego dan gengsi, gue mengaku!

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang