Bel istirahat siang berbunyi nyaring. Merambat cepat di atas udara siang yang panas. Gue nggak begitu memperhatikan wali kelas gue yang berkemas dan berpamitan, yang jelas tahu-tahu kelas udah ribut aja. Beberapa anak berlarian keluar kelas macam singa lepas kandang. Sisanya bertahan, terlalu mager untuk sekadar menggeser pantat.
Gue adalah salah satu anak yang masuk dalam kategori 'sisa' itu. Bedanya, alasan gue nggak bergerak sedikit pun bukan karena gue mager, melainkan karena nyawa gue yang belum kumpul seperti semula. Masih berceceran. Memikirkan kalau lagi-lagi gue dicari kakak kelas akibat anak lelaki bikin gue lemas. Nggak sanggup ngapa-ngapain.
Dulu, sewaktu didatangi kakak kelas bongsor yang naksir Revan, gue sama sekali nggak merasa takut. Risih, iya, tapi nggak takut. Buat apa? Orang cuma Revan kok yang berusaha pedekate. Respon gue pasif. Gue bukan penanggung jawab perasaan Revan yang ditujukan ke gue, ya. Dia juga nggak terikat hubungan dengan siapa pun. Bikin gue makin pede kalau gue nggak bersalah atas terbakarnya jenggot si kakak. Kalau si bongsor itu nekat nyenggol gue, sori aja, gue berada di posisi yang kuat untuk melawan.
Nah, sayangnya, teori 'gue nggak bertanggungjawab' ini hanya berlaku untuk kasus Revan. Dengan Hanafi udah beda soal lagi. Walau sebetulnya ini hanya miskonsepsi alias salah paham---gue yang menganggap Hanafi sebagai teman dan Hanafi yang menganggap lebih---gue tetap punya peran dalam penyelewengan yang terjadi. Hanafi memang punya pacar, tapi seperti kata Mita, perasaan bisa berubah. Dan gue punya andil dalam perubahan yang dialami Hanafi. Secara langsung maupun nggak langsung. Makin jelaslah posisi gue dalam drama kehidupan kali ini: terdakwa.
Lailahailallah .... Menjerit hati gue, menjerit!
Ada nggak, sih, yang bakal percaya kalau gue bilang ini adalah kesalahpahaman semata? Gue nggak sengaja, kawan-kawan. Gue nggak ada niat. Lo percaya 'kan sama gue? Iya, 'kan?
"Mey." Fira datang. Langsung duduk di kursi Mita yang kosong karena yang punya bangku udah cabut.
Gue, dengan posisi kepala rebahan di atas meja, menatapnya tanpa gairah. "Apa?"
"Pengumuman lomba film pendek udah keluar."
Badan gue menegak dengan cepat. "Iya? Gimana hasilnya?" tanya gue dengan mata membulat. Kelewat antusias untuk ukuran orang yang baru aja ber-gloomy-gloomy ria akibat status pelakor yang disandangnya.
"Nggak menang, hehe."
"Yah ...." Bahu gue langsung merosot. Good bye to pisang cokelat bibi kantin nomor satu. Perjanjiannya kemarin menang dulu baru gue dapat traktiran.
"Tapi, lo nggak perlu khawatir," Fira tersenyum, "tetep gue beliin, kok."
Gue kaget. "Ya nggak gitu lah, Fir. 'Kan janjinya nggak gitu." Gue buka binder gue halaman paling akhir. Membalik beberapa lembar, kemudian berhenti pada kertas yang sobek separuh. "Nih," gue menyodorkan binder.
Sebuah perjanjian ecek-ecek. Isinya nggak banyak, hanya pernyataan bahwa Fira akan 'menggaji' gue dengan sejumlah makanan kalau project film yang dia garap menang dalam lomba. Juara satu gue dapat komisi pisang cokelat dan es Hilo ukuran besar, juara dua gue dapat pisang cokelat dan Choki-Choki cokelat asli enaknya selangit, sedangkan kalau juara tiga gue dapat pisang cokelat doang.
Fira membuka besi binder gue, mengambil kertas itu, lalu melipat dan memasukkannya ke dalam saku. "Udah, ayok ke kantin."
"Tapi lo nggak menang. Lo mau traktir gue pake duit pribadi?" Gue kekeh.
Sejujurnya kemarin itu gue cuma iseng. Tapi, Fira bilang kalau project ini berarti buat dia dan dia nggak main-main. Apalagi gue bukan anggota klub film pendek. Dia mau menjalin kerja sama sama gue secara profesional. Oleh sebab itu, setelah gue menyelesaikan narasinya, dia minta buat gue bikin perjanjian ala-ala ini jadi hitam di atas putih. Eh, nggak, ding. Di atas pink. Kertas binder gue kebetulan warnanya merah jambu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Teen Fiction[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...