Gue sebenernya berkeinginan buat absen di acara perpisahan yang diadain sekolah. Nggak minat. Kayak males aja gitu. Apalagi banyak temen-temen kelas gue yang ikut bimbel SBMPTN di luar provinsi, yang mana bikin mereka jadi nggak bisa hadir.
Tapi, yah ... kadang hasrat gue memang nggak ada harganya. Desakan dari Ayu selaku tetangga kosan yang sering gue mintain sayur---karena masakan dia enak kayak masakan emak-emak---dan kalimat-kalimat seperti 'ini tuh momen sehidup sekali, Mey' akhirnya bisa bikin gue muncul juga.
Meski, tetap, dalam kondisi nggak begitu niat.
Lihat aja apa yang gue pake sekarang. Kebaya entah punya siapa, rok punya siapa, tas punya siapa, sandal punya siapa. Asal comot aja yang ada di rumah. Nggak ada ceritanya gue fitting-fitting baju kayak yang lain, atau cari-cari perlengkapan penunjang penampilan guna tampil wah di momen 'sekali seumur hidup' ini.
Oh ada, deng. Jilbab. Gue beli jilbab. Tapi beli juga bukan satin yang bling-bling nan mewah, melainkan ... apa ya? Nggak tahu nama kainnya apa, pokoknya bukan paris, rawis, hero, wolfis atau tessa. Merk Umama tipe segi empat, warna kuning gelap yang lembut dan nggak menusuk mata.
Dan ... cara pakainya pun nggak gue model-model kayak cewek-cewek kebanyakan. Nggak gue ikat di leher, nggak gue puter-puter di kepala, biasa aja kayak gue waktu sekolah: setengah lebar dan menutupi dada. Dengan sebuah bros pita di sebelah kiri---punya Ayu---biar penampilan gue nggak sepi-sepi amat kayak hati elo.
"Islameyyyyyyy!" Masih jauhan, tapi gue udah diteriaki. Dari roman-roman mukanya sih kayaknya mereka nggak nyangka kalau gue mau dateng ke acara ribet ini.
"Gile, make up lo. Mantep amat."
Gue kasih mereka cengiran.
Ini, nih. Ini. Bagian paling niat dari penampilan gue sejauh ini: riasan. Meski sama-sama nggak pernah dandan, Ayu punya channel salon bagus yang letaknya agak jauh dari kosan. Nggak agak lagi sih, jauh banget sebenarnya, sekitar tiga puluh menit naik motor kalau melaju dalam kecepatan 40 km/jam. Tapi, beuh, hasilnya memang nggak main-main.
BAGUS BANGET DEMI ALLAH.
Gue warmtone, kulit gue sawo matang. Keputusan buat bikin riasan muka gue jadi matte dan nggak terlalu cerah adalah hal yang tepat. Mata gue belo; double eyelid lumayan tebal; bulu mata lurus, nggak terlalu panjang dan nggak lebat. Bulu mata palsu yang dipasangkan ke gue adalah yang panjang dan jarang-jarang. Sangat cerdas! Pemilihan warna blush, eyeshadow, dan lipstik buat gue juga mencerminkan kalau abang salon yang sama sekali nggak ngondek ini adalah seorang profesional. Pas.
Sekilas, gue nggak lihat apa bedanya gue sama Mbak Davikah Hoorne.
Ehe. Maaf.
Cuman, gue jadi ngerasa dewasa banget. Dari awal gue udah sadar kalau muka gue ini muka-muka tante, dan sentuhan make up badai ini membuatnya jadi semakin jelas aja. Ditambah outfit yang gue pakai, gue kelihatan persis kayak versi alim dari ibu-ibu pejabat.
Hmmmmmmmm.
"Mey, mey, ayo fotooooo." Teman-teman gue berseru. Kami foto ramai-ramai.
"Ih, Mey pakek lensa, yaaaaa?"
"Hah? Engga ...."
"Gapapa, Mey. Jujur aja. Bagus banget!"
Belum sempat gue menjawab, Fia udah ngomong duluan. "Ck, enggak. Itu mata dia."
"Lensa, Fi. Liat, deh." Tania menatap mata gue.
"Enggak~ Ini asli." Gue nyengir canggung. Bingung mau bilangnya gimana biar nggak menimbulkan kesan sombong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Novela Juvenil[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...