"Mey, lo diliatin sama Revan," Okta mendesis.
Revan-Revan-Revan-Revan-Revan. Dua minggu penuh sama sesuatu yang berbau Revan. Gue melirik ke sebelah kiri. Okta benar. Revan yang baris di siku letter U sedang melihat ke arah gue. Tak lupa dia memasang senyumnya yang khas.
Gue langsung menyerongkan badan sedikit ke kanan. Berlaku defensif. Buat gue yang baru pertama kali baris di depan sepanjang sejarah penggunaan rok abu-abu, gara-gara menggantikan posisi teman yang pingsan pula, ini hari yang sangat suram. Thanks to Revano.
Upacara memang selalu dihadiri oleh seluruh murid---kecuali yang bolos tentunya, tapi setengah tahun lebih gue sekolah, sekitar tiga puluh kali gue ikut upacara, nggak ada tuh muka dia gue lihat-lihat? Kenapa sekarang munculnya jadi sering banget? Heran.
Dia nggak lihat pembina yang sedang memberikan petuah di depan sana? Hormatlah sedikit, anak muda!
"Bapak juga pernah jadi murid seperti kalian. Tapi Bapak tidak pernah mengikuti arus pergaulan be---"
"Kayaknya dia suka sama lo." Okta berspekulasi dengan nada serendah mungkin. Posisi kami yang berada di bagian paling muka barisan mengharuskan kami untuk mengecilkan suara demi keberlangsungan hidup dunia pergunjingan.
"Gue enggak."
"---dak perlu dicontoh."
"Ya kalo suka ya udah, sih. Harus banget semua orang tau. Gue kan jadi risih."
"Jangan sekali-kali kalian dekati narko---"
"Ck. Kalo tau dia di depan gini, gue nggak maju tadi."
Okta hanya tersenyum kecil. Nggak menanggapi perkataan gue sama sekali. Dia penghuni tetap barisan depan, udah terlatih dalam urusan mingkem waktu upacara. Beda sama gue yang sebenarnya penghuni barisan belakang.
Ah, jadi kangen baris di belakang. Walaupun di belakang juga gue lebih sering menyimak obrolan Fikri, Dandi, Riko dan anak-anak cowok yang lain ketimbang terlibat dalam percakapan itu sendiri, gue senang. Daripada mendengarkan pembina mengoceh ya kan?
Dan lagi, kalau kaki udah merasa pegal kelamaan berdiri, di belakang itu bisa jongkok. Serius. Lapangan SMA gue nggak terlalu lebar, antarbanjar aja cuma selang setengah lancang kanan. Bisa dibayangkan betapa rapatnya. Lo mau bikin pagelaran seni wayang juga nggak kelihatan. Nggak lebay, Mey, nggak lebay. Iya, bercanda.
Satu-satunya kekurangan baris di belakang hanyalah nggak adanya asupan angin sepoi yang mencukupi alias panas banget. Apalagi kalau cuacanya terik. Gerah tak terkira. Ditambah pembina sontoloyo yang suka pidato nggak kenal waktu, walah ... simulasi di padang mahsyar. Di sini udaranya kering, langit suka bersih dari awan. Mampus-mampuslah kalau upacaranya lama.
"Kepada pemimpin upacara hormaaaaaaatttt ... gerak!" Tahu-tahu ketua kelas gue teriak.
Alhamdulillah ....
Satu menit kemudian barisan udah boleh bubar. Murid-murid menyebar dengan cepat, berlomba menuju kelas masing-masing. Cepat-cepat gue mencari Mimi, berniat menggaet tangannya untuk segera meninggalkan lapangan.
Gue nggak mau Revan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Momen habis upacara itu sangat kritis. Seribu lebih siswa bergerak acak di atas lapangan yang hanya beberapa meter lebih luas dari lapangan futsal. Karena letak lapangan yang di muka gerbang dan bukan di tengah sekolah, untuk kembali ke kelas, murid-murid ini harus melewati satu di antara tiga jalan. Jalan pertama berada di bagian kanan, satu lurusan dengan gerbang. Jalan kedua berada di tengah, semi-terlarang karena itu lorong ruang guru dan tata usaha yang seharusnya tidak dilalui murid yang ingin ke kelas. Terakhir adalah jalan menuju kelas anak Prima dan Eksekutif. Letaknya di bagian kiri.
Dan karena gue adalah anak kelas 10 IPA 1, kelas yang dapat jatah berbaris di ujung letter U dan dekat sekali dengan lorong anak Prima-Eksekutif, besar kemungkinan papasan dengan Revan kalau gue nggak segera cabut.
Nah, itu dia si Mimi.
Tapi, dia lagi jalan sambil ngobrol sama Lia ....
Ugh.
Gue mendekat, bergabung dengan mereka. Tetapi, jangankan menarik Mimi untuk cepat beranjak dari sana, sepatah kata pun nggak keluar dari mulut gue. Akhirnya kami bertiga jalan bersisian menuju kelas. Dengan gue yang was-was karena takut bertemu Revan. Syukurlah, sampai gue tiba di depan kelas, Revan nggak nongol. Lega sekali. Gue langsung lepas topi begitu memasuki area teras kelas yang dingin. Anak-anak yang lain bahkan udah ada yang duduk, ngadem sebentar sebelum masuk ke kelas.
"Mey, temenin gue ke wc dulu yuk? Mumpung belom masuk gurunya," pinta Mimi.
"Oke."
"Dek."
Belum sempat gue beranjak, tiba-tiba sebuah suara asing terdengar pas banget di belakang gue. Gue langsung balik badan, kemudian menemukan sesosok cewek bongsor yang mukanya kaku dan sok-sok an.
"Ya?"
"Tahu yang namanya Mey, nggak?"
Lho?
Lhooooo ...?
Karena nggak tahu harus jawab apa, gue angkat tangan setinggi dada. Persis seperti murid yang mengacungkan tangan buat izin ke wc padahal mau ke kantin. Anehnya, kakak yang wajahnya mencerminkan kentalnya budaya senioritas di Indonesia itu sama sekali nggak terkejut. Ekspresinya masih sama.
"Oh, ya udah." Dia berbalik, pergi begitu aja.
Saat tubuhnya berbalik itulah, tampak Kak Mia di belakang. Dia tersenyum canggung ke gue. Lalu, mereka menaiki tangga ke lantai atas beriringan. Meninggalkan gue tanpa kejelasan apapun di tengah-tengah suasana teras kelas yang ramai.
Gila, nggak cukup sama Kawasaki Ninja, sekarang truk tronton mau ikut-ikutan ngegeber gue juga?
Sebenarnya gue terlibat dalam drama apa sih ini?!
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Novela Juvenil[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...