2. 2016 - Kakak Kelas

393 81 16
                                    

Gue ketemu orang itu, si Pengirim Bunga-Bungaan, tiga hari yang lalu. Hari Jum'at, di perpustakaan sekolah, waktu menemani Mimi mengembalikan buku.

Well, kami nggak bertabrakan. Juga nggak saling tangkap-menangkap, dekap-mendekap, atau saling berpelukan karena memang nggak ada yang jatuh. Jari kami pun nggak saling sentuh-menyentuh akibat menginginkan buku yang sama, apalagi saling mencium aroma tubuh pas dia nolongin gue ngambil buku di rak yang tinggi seperti di drama-drama Korea. Nggak gitu konsepnya.

Kenyataannya, dia cuma duduk diam di bagian lesehan perpustakaan ditemani satu temannya yang berjenis kelamin laki-laki juga. Sedangkan gue berdiri kurang dari tiga meter di samping kirinya, menunggu Mimi menyelesaikan interaksi pengembalian pinjaman dengan petugas perpustakaan.

Pernah dengar nggak kalau lo menatap seseorang lebih dari tiga puluh detik orang itu akan menoleh?

Kata Tian, teman sekelas gue, peristiwa itu punya penjelasan ilmiah.

"Mata kita itu memancarkan energi. Ketika kita menatap seseorang, energi itu akan mengarah kepadanya. Tubuhnya akan menangkap energi tersebut sebagai energi asing dan secara refleks dia akan mencari sumber energi itu."

Gue percaya sama Tian. Meskipun dia suka nyaman sama bau keteknya sendiri---sebaran baunya sampe radius dua meter gue kasih tahu aja, dia bintang sekolah. Tingkat keenceran otaknya nggak perlu dipertanyakan lagi. Terlebih, ucapannya itu terbukti. Pas banget waktu gue ketemu si Pengirim Bunga-Bungaan ini.

Gue menoleh ke dia saat jarum detik warna merah pada jam dinding bahkan belum mencapai angka enam, terhitung sejak gue masuk ke perpustakaan dengan asumsi kalau waktu gue masuk itu jarumnya stay di angka dua belas---paham maksud gue? Dengan kata lain, gue udah menangkap sinyal yang dia kirim dalam waktu kurang dari tiga puluh detik. Kemungkinannya ada dua, gue yang kelewat peka atau energinya yang 4G LTE; kencang.

Dia tersenyum. Lebar sekali, sampai ke tulang pipi. Kepalanya mengikuti setiap pergerakan gue.

Sial. Ini cuma perasaan gue aja apa memang mukanya kelihatan sangat mesum?

Gue merinding. Tangan gue jadi dingin. Cepat-cepat gue geser ke sebelah kiri Mimi, berharap tubuhnya yang---maaf, Mi---agak berisi itu mampu menutupi gue.

Eh? Kenapa kepalanya masih aja ngikut?

Senyum lebarnya makin-makin.

Kampret! Kok kita masih bisa saling liat, sih?!

Gue lupa, selain nggak kurus, Mimi juga nggak tinggi. Jadi tindakan gue barusan, bersembunyi di balik Mimi, hanyalah bentuk dari kesia-siaan belaka. Ah!

Gue agak menunduk, mepet Mimi sambil menarik-narik ujung baju seragamnya. "Mi itu siapa, Mi?" tanya gue, berbisik.


"Siapa?"

"Itu yang ngeliatin gue. Serem."

"Bu, ini uang dendanya." Mimi malah sibuk sendiri.

Tarikan tangan gue makin kencang. "Mimi gue takut ...."

"Aduh, kenapa sih?! Jangan narik-narik."

Gue melotot. Ya kok malah teriak .... Demi Allah, Mi, itu orangnya ada di sana kalau dia dengar gimana?!

Gue lirik cepat ke arah si Mesum. Berharap Mimi paham apa yang gue maksud. "Dia ngeliatin terus, Mi."

Mimi melihatnya sekilas. "Temen lo?"

Buseeet, Mimi! Gue menggeleng samar.

"Yaudah biarin aja."

Gue mendelik. Nggak menyangka Mimi akan berkata demikian.

Biarin kata lo, Mi? Gue harus biarin Si Mesum itu menelanjangi gue dengan kedua matanya? Gila! Ini pelecehan, Mimi! Pelecehan!

Sebagai seorang cewek yang nggak lemah, gue nggak bisa diam aja. Banyak perempuan dalam berita-berita siang di stasiun tv yang jadi korban napsu lelaki, tapi bakal gue pastikan gue bukan salah satunya. Amit-amit. Gue kuat, ya. Gue bisa membela diri gue sendiri. Enak aja main pandang-pandang gue pake ekspresi pengen kawin kayak begitu. Lo pikir gue seksi? Enggak!

Lho?

"Mey, buruan pake sepatunya. Nanti telat." Mimi berkacak pinggang.

"Iya-iya." Gue buru-buru berdiri, terus jalan sama Mimi ke kelas. Balik. Nggak ada gerakan pembelaan diri terhadap pelecehan yang baru aja gue alami.

Halah, Mey ... bela ..., bela ..., bela negara kali, ah! Kebanyakan mikir doang, nggak ada aksi. Malu gue sama diri sendiri. Tapi, mau gimana? Mana berani gue main labrak-labrak. Sama anak cowok yang nggak gue kenal lagi. Gini-gini catatan kriminal gue bersih. Gue gadis suci yang nggak pernah terlibat huru-hara apa pun di SMA ini.

Lagian gue juga yakin dia bukan cowok biasa. Cara dia natap gue itu, loh. Pede setengah mampus. Nggak berkedip. Gue melotot sampe bola mata setengah keluar juga dia nggak gentar. Tetap kekeh. Ditambah mukanya yang asing itu ... apa dia murid baru? Tapi, nggak ada kabar murid pindahan, tuh. Yah ..., gue memang bukan cewek kembang angkatan yang punya teman di setiap kelas, sih. Tapi, gue cukup familiar sama wajah anak-anak angkatan gue.

Kecuali cowok mesum ini.

Tolong jangan bilang dia kakak kelas.
.
.
.
.
.

Tolong banget.
.
.
.
.
.

Duh, mampus gue.



TBC

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang