Hanya karena gue belom pernah ketemu sama yang namanya Isyana, eh maksudnya Isana (tapi Isyana juga belom sih), bukan berarti gue benar-benar buta dengan rupa adik kelas pemotek hati Juna itu. Kenny pernah bilang kalau cewek yang sekarang berstatus sebagai kekasihnya Revan ini berwajah seperti boneka barbie; luar biasa cantik. Tadinya gue skeptis. Rasa-rasanya agak nggak mungkin kalau cewek se-wow itu nggak jadi bahan perbincangan satu sekolah, apalagi dia anak kelas sebelas. Sekuper-kupernya gue, ada banyak orang di Andalas. Dan telinga gue nggak perlu kenalan dulu sama mulut mereka supaya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Namun, hari ini, hari di mana pementasan sendratari kelasnya Revan dilakukan, gue mengakui kalau gue setuju dengan pendapat Kenny. She's so damn beautiful, gaeeeeeeessss!!! Triple tanda seru, pokoknya. Suangat cuantek. Gue yang duduk radius dua meter dari Isana aja udah merasa kentang banget. Nggak kebayang jadi teman-temannya yang duduk bersebelahan sama dia. Mereka mungkin berpikir kalau mereka cuma bagian dari tubuh roket yang mengambang di atas atmosfer bumi. Sampah alam semesta.
Ketika Isana masuk ke aula, sejatinya nggak ada yang membicarakan dia. Nggak ada kasak-kusuk namanya di udara yang masuk ke telinga gue.
Lantas gimana caranya gue tahu kalau dialah Isana yang selama ini gue pikir Isyana? Simpel aja. Dia pakai celana khas anak Eksekutif, bersama rombongan anak-anak Eksektutif dan berwajah bak dewi. Dari situ aja gue udah langsung tahu.
Dengan anggun, Isana duduk lesehan selang dua baris di depan gue. Berapa kali gue melirik ke arahnya, hanya untuk memuaskan rasa penasaran karena akhirnya, setelah berbulan-bulan, gue bisa melihat batang hidungnya. Gue nggak insecure kalau-kalau lo kepo, meskipun muka dia mulus kayak porselen, hidungnya kecil mancung, kulitnya cerah, matanya besar-bulat-indah, alisnya mantap dan tubuhnya masyaallah ... aduhai kalau kata lirik dangdut. Kenapa? Karean gue pernah baca quotes dari Mbak Miranda Kerr yang kira-kira isinya begini; a rose can never be a sunflower, and a sunflower can never be a rose. All flowers are beautiful in their on way and that's like women too. Quotes ini sangat menyentuh hati sampai-sampai bisa menendang ke-insecure-an dalam diri, membebaskan gue dari rasa nggak pede karena fisik.
Tapi, tetap aja. Iri tetap jalan.
Astaghfirullah ....
Lihat bulu matanya, tuh. Lihat. Kayak grafik fungsi algoritma, anjir. Melengkung! Allahurobbi. Apa kabar, nih, punya gue yang alim-alim pesantren? Lurus nggak belok-belok.
"Mey, Mey. Lihat. Kumisnya Revan kayak kumis jaman kolonial. Pfffttt." Mona yang jadi satu-satunya partner nonton gue---karena Disti dan Rike lebih memilih pulang---menyeletuk. Atensi gue langsung pindah.
Mona benar. Kumis Revan kayak kumis Belanda. Gue menahan tawa. Melas banget itu ya lorrrrddd. Siapa, sih, tata riasnya? Ganti gue aja sini! Eits, mulai, mulai .... Sombong binti nggak tahu diri.
Dahi gue mengkerut begitu melihat Isana dan rombongannya keluar aula. Ada apa ini? Kenapa dia meninggalkan pertunjukan di tengah jalan? Dia nggak mau melihat ayang beb-nya berlakon dengan kumis Belanda? Dia ilfeel?
Wow ... ngimpi banget. Nggak mungkin lah, Mey. Isana mana sanggup melewatkan kesempatan pementasan pacarnya. Emangnya elo? Dia akan tetap stay menonton pujaan hatinya itu sampai acara selesai, di manapun dia berada.
Dan, yah, benar. Ketika pentas diakhiri dengan closing, tiba-tiba Isana udah ada di sebelah Revan. Panggung bawah semarak dengan para pemain, kru panggung, bahkan beberapa penonton pun ditarik untuk ikut bergabung. Mereka berjoget bersama dalam chaos.
Dea yang ada di sebelah gue, berujar, "Cuma kelas kita ya yang nggak narik penonton buat ikut closing? Kelas lain narik semua, deh, kayaknya ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Teen Fiction[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...