46. 2019 - Sebuah Gebrakan

170 36 2
                                    

"Heh! Mau ke mana lo?" Gue refleks menarik kaus hitam Iqbal---teman satu prodi di TI---yang mendadak bangkit di samping gue.

"Pulang~"

Tak mengindahkan nada suara dan wajahnya yang memelas, gue mendesis sambil melotot. "Sukhai udah pulang ya, Bal. Khema, Mamang, Riyan juga udah cabut. Lo mau ninggalin gue sendirian?"

"Kan masih ada yang laen," katanya sembari melihat-lihat anak TI yang tersisa di kantin, yang sebenarnya nggak ramai-ramai amat malam Minggu ini. "Ada itu tuh," tunjuknya dengan dagu. Kemudian agak menunduk ke kuping gue. "Siapa itu gue nggak kenal. Hhhhhhhhhh."

Gue meninju pelan pinggangnya. Hampir tertawa.

Tolong jangan heran ya kawan. Seperti yang udah gue bilang, tahun pertama adalah jatahnya TPB. Satu kelas prodinya masih campur. Anak prodi sendiri jadi banyak yang belum kenal. Gue juga nggak mengira kalau menyambut anak TI dari Univ lain bakal lama banget sampai magrib. Tahu gini gue nggak datang.

"Emang lo mau balik mau ngapain? Makan? Sini aja."

"Udah makan."

"Lha terus?"

Si kambing ini malah senyam-senyum.

"Ngomong, heh. Mau ngapain?"

Iqbal mengembuskan napas. "Cover buku angkatan gue beloman. Besok harus dikumpul," sahutnya lemas.

"Aelah cuman cover buku angkatan doang. Lo bawa, 'kan? Udah kerjain sini aja. Mumpung lagi break solat magrib. Gue bantuin deh," tawar gue.

"Nggak punya spidol."

Gue membelalak. "Lho? Emangnya kalo lo pulang, otomatis jadi punya??"

"Hehehe. Enggak sih, tapi kan bisa minjam punya Senja."

Capek banget rasanya ngadepin kambing satu ini.

"Diem sini. Gue cariin pinjeman."

Iqbal akhirnya menurut dan kembali duduk. Sementara gue menghampiri meja Dewita buat nanya apakah dia punya spidol Snowman warna hitam dan biru muda atau enggak.

"Nih, ada. Kerjain sini aja." Gue meletakkan dua buah spidol itu ke atas meja. Lalu duduk di hadapannya yang sedang membuka tas, mengeluarkan blueprint cover buku angkatan, beberapa hvs lain, dan alat tulis.

Gue membantu mewarnai cover selagi Iqbal melanjutkan lembar biodatanya. Dewita sempat mampir untuk melihat dan mengobrol, tapi setelah itu langsung balik lagi ke mejanya, meja utama yang jadi tempat penyambutan tamu. Meninggalkan gue dan Iqbal yang sengaja pisah meja sejak break guna menyambi menunaikan tugas himpunan.

"Lo solat nggak?" tanyanya ketika melihat anak-anak cowok berjalan dari arah musala kantin. Kayaknya sekarang udah nggak ngantre lagi.

Gue menggeleng. "Lagi enggak."

"Ya udah gue solat dulu."

"Oke."

Iqbal beranjak.

Gue menutup spidol biru muda begitu selesai mewarnai gambar bumi, beralih menebalkan judul cover dengan spidol hitam, ketika suara asing terdengar dari arah belakang.

"Pacarnya Iqbal."

Masih huruf B.

"Pacarnya Iqbal."

Ganti huruf U.

"Pacarnya Iqbal."

DEMI ALLAH, BISA DIEM NGGAK SI CONGOR INI?!

Monosodium GlutamateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang