"Mey, gue butuh bantuan lo." Fira tiba-tiba samper ke meja gue. Tumben. Padahal harusnya dia ke kantin karena sekarang waktunya istirahat.
"Kalo bantuan yang lo maksud adalah ngajarin lo memahami soal Fisika yang tadi dikasih, sori, gue juga nggak ngerti. Hehehe."
"Nggak, bukan itu. Kalo itu mah gue juga paham."
Kampret.
"Pokoknya lo bantuin gue, ya? Plis banget." Fira menangkupkan kedua telapak tangannya, membentuk gestur memohon.
Gue jadi takut. Apa kira-kira yang bakal dia minta?
"Ya bilang dulu gue harus bantu apa."
"Jadi gini, hehe ...."
"Mey lo mau ke kantin nggak?!" Disti teriak dari mejanya. Mona dan Rike udah di sana.
"Nanti, deh, duluan aja."
"Oke." Mereka berlalu.
"Apa tadi?"
"Gini, lo tahu 'kan gue ikutan klub film?" Dia nyengir.
"Iya, tahu."
"Nah, sekarang lagi ada lomba. Gue yang jadi sutradaranya."
"Oh, ya? Akhirnya ya, Fir? Hahahaha."
Fyi aja, perkumpulan film ini agak bobrok. Bukannya menghina, cuma, gimana ya ... rasa-rasanya kurang fair. Fira, Disti, Mona adalah bukti dari ketidakadilan yang terjadi dalam klub itu sejauh yang gue lihat. Mereka jarang dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Hanya orang-orang pilihan aja. Udah kegiatannya jarang, nggak pernah diajak lagi. 'Kan nggak jelas.
"Siapa artisnya?"
"Ya semuanya merangkap artis, sih. Tapi, pemeran utamanya Mona."
Wadidaw.
"Akhirnya dia jadi juga. Dia ekspresif, kok. Pasti oke aktingnya. Bagus, deh, kalo kalian pada maen."
"Makanya, gue mau nunjukin kalo kami-kami yang sering 'di-anak-tiri-kan' ini bisa. Gue mau film ini semaksimal mungkin. Dan gue butuh bantuan lo."
Gue mengangguk. Oke, mereka adalah teman-teman gue. Gue senang bisa menjadi bagian dari gerakan mereka buat menunjukan diri pada dunia. Nggak ada alasan buat menolak. Mau bantuan apa? Promosi? Saran dan kritik adegan? Gue siap. "Dan bantuan yang saudara maksud adalah ...."
Dengan wajah tanpa dosa Fira mengucap, "Tolong bikinin narasi."
Mata gue otomatis membulat. Narasi? Na-ra-si? Wah, gila si Fira. Narasi itu penting, ya. Primer. Kalau yang bikin narasi aja gue, anggota yang lain kerjanya apa? Gotong-gotong kamera? Kipas-kipas artis? Beli kopi?
"Hah? Emangnya kemana temen-temen lo yang anak film? Mereka nggak ada yang jago bikin narasi, sampe lo minta tolong sama gue?" Tanpa sadar gue jadi julid, "Mereka ... nggak kreatif, ya?"
"Ehehe. Ya ada," Fira cengengesan. "Tapi, lo 'kan lebih jago. Lebih kreatif."
Wow. Jawaban yang nggak disangka-sangka. Gue kesulitan memblokade senyum, nggak bisa menahan buncahan kebahagiaan di dalam dada. Maut banget bujukannya, saudara-saudara.
"Serius, Fir. Narasi itu krusial. Masa gue yang notabene bukan anak film yang bikin?"
"Sebenarnya udah dibikin, tapi gue kurang sreg. Ya lo tau lah gue agak perfeksionis. Gue juga pernah baca tulisan lo. Gue tau lo ngerti hal-hal beginian, Mey. Bantuin, ya?"
"Coba liat mana yang udah dibikin."
"Bentar." Fira langsung berlari ke mejanya. Dia kembali beberapa detik kemudian dengan selembar kertas binder di tangan.
Pantas aja Fira agak gimana, orang tulisannya berantakan begini. Perkalimatnya nggak nyambung. Nggak oke untuk ukuran narasi film remaja.
"Ini siapa yang bikin?"
"Pemikiran bersama, sih. Tapi, Tuti yang banyak."
Oh, maaf, Tuti.
"Narasinya ntar gimana?"
"Di baca pas akhir. Pas Mona ceritanya lagi refreshing."
"Naratornya?"
"Tuti juga."
Walah-walah. Anak kandung memang beda, ya. "Em, yayaya."
"Gimana? Bisa nggak?" Fira menatap gue dengan harap-harap cemas.
"Kalo menang traktir gue, loh."
Wajahnya langsung semringah. "Wuuuuuuu, tenang aja, Mey. Bagian itu beres."
"Piscok legend bibi kantin nomor satu. Goceng."
"Iya, nggak usah khawatir. Tapi, jangan bilang siapa-siapa, ya, kalo gue traktir lo?"
Gue mengangguk.
"Deal?"
Gue terima uluran tangannya, "Deal."
Setelah rampung bernegosiasi, gue dan Fira langsung cabut. Lapar. Karena waktu istirahat tinggal sedikit, nggak cukup kalau makan di kantin utama, kami putuskan untuk membeli jajanan di koperasi. Kantin pojok sebetulnya lebih dekat, tapi gue nggak mau makan di sana. Jam-jam segini ramai jamet-jamet IPS.
Koperasi Andalas atau yang lebih sering dipanggil Kantin Andalas terletak di tengah-tengah sekolah, tepat di samping perpustakaan. Bangunannya terpisah dari bangunan lain dan lebih mirip wc dua pintu saking kecilnya ukuran. Mungkin hanya 3x4 meter? Isinya jajanan ringan seperti cokelat gopek-an, beng-beng, nabati dan kroni-kroninya, alat tulis kantor, jilbab, handsock---uhuk, aneka bros, dasi, topi dan lain-lain. Ada juga gorengan dan kue-kue basah, aneka keripik, serta minuman dingin karena kulkas eksis di dalamnya. Dan jangan lupakan mbak-mbak penjaga koperasi, satu. Kadang-kadang malah yang jaga ada tiga. Duanya guru. Intinya, sempit. Tujuh orang masuk aja udah gencet-gencetan.
Tapi, sekarang istirahat udah limit, jadi gue nggak panik. Pasti udah sepi. Meskipun kue-kue basah, keripik dan minumannya mungkin udah ludes, masih ada chiki-chiki. Perut gue bakal aman, damai, sentosa. Yang nggak aman itu cuma hati gue. Karena belum juga sampai koperasi, gue udah menemukan Revano Putra Aji, orang yang belakangan ini gue update perkembangannya di timeline BBM, sedang mangkal di lesehan perpustakaan.
Mata kami bertemu.
Hah!
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Monosodium Glutamate
Teen Fiction[COMPLETED] Semuanya berawal dari bunga mawar imitasi yang gue temuin dalam laci meja di Senin pagi kala itu. Bunga dari cowok yang gue lihat di perpustakaan sekolah. Sebagai cewek semi idealis yang kebanyakan mikir tentu mental gue nggak siap. Ini...