"Ji, ke kantin yuk."
Ini pertama kali sejak terakhir kali Ryujin berbicara pada Yeji di apartemen perihal masalah hatinya tempo hari. Yeji tersenyum melihat wajah penuh lelah sahabatnya itu. Mungkinkah ia galau karena pacarnya, Chaeryeong sudah tidak bekerja di dekatnya lagi? Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berbaikan dengan manusia favoritnya, Yeji mengangguk lalu menarik (baca: menyeret) Ryujin menuju kantin.
Jam makan siang selalu krusial setiap hari. Bisingnya percakapan antar manusia pekerja yang kelaparan, aroma makanan bertebaran, denting alat makan, suara-suara menggoreng lauk dan menyendokkan nasi memenuhi ruangan luas yang terlihat penuh. Dua sahabat itu celingukan mencari meja kosong yang masih tersedia. Tidak heran jika sudah tidak ada lagi yang bisa diduduki. Yeji baru saja hendak menyarankan untuk membeli makanan yang dibungkus atau makan di luar saja saat Ryujin menepuk pundaknya dan menunjuk ke sudut kantin. Di sana ada Yuna yang sedang makan bento box seorang diri di meja untuk berempat. Yeji menggelengkan kepala tanda protes.
"Nggak, jin. Please, jangan di situ."
"Lah kenapa emang?"
Yeji menggeleng beberapa kali.
"Bodo amat. Perutku udah keroncongan."
Kali ini giliran Ryujin yang menyeret sahabat jangkungnya ke arah meja Yuna. Ia agak kesulitan karena Yeji berusaha melawan ditambah kerumunan orang yang sedang mengantri makanan jadi menghalangi jalan. Bagi seorang Shin Ryujin itu tidak seberapa, sih. Ia berhasil sampai di tujuan. Pantang menyerah itu motto hidupnya.
Kedua Shin akhirnya bertemu. Wajah Yuna sumringah melihat saudara semarganya datang, bangkit dari tempat duduk, dan langsung mencipika-cipiki Ryujin. Yeji mengernyit melihat pemandangan di depannya. Seingatnya, Ryujin bukan tipe orang yang suka disentuh. Setiap ia menggoda sahabatnya dengan merangkul atau memberi gestur ingin mencium, Ryujin selalu memasang wajah jijik. Ini juga pertama kalinya ia melihat interaksi dua Shin di kantin sebab selama ini setiap jam makan siang ia selalu makan berdua bersama bosnya...
Ah, 'kan jadi mengingat dia lagi.
"Heh, Hwang Yeji!"
Yeji reflek menutup kuping sebelah kanannya yang diteriaki oleh siapa-lagi-kalau-bukan Ryujin. "Nggak usah teriak kenapa sih? Kalau aku budek mau tanggung jawab?"
"Lagian daritadi ditanyain mau makan apa malah bengong. Cepetan mau makan apa?"
"Hm...apa ya...gimbap aja deh. Minumnya air mineral."
"Ya udah tunggu sini, aku yang pesan."
Yeji membelalakkan mata. Ia tidak mau ditinggal berdua saja dengan Yuna! Pasti akan sangat canggung nanti. Namun, terlambat sudah. Ryujin sudah melesat pergi. Tumben sekali tidak meminta uang padahal biasanya selalu minta dibelikan. Sudah dapat dipastikan ia sengaja.
Terpaksa Yeji duduk di meja itu, di seberang Yuna, mepet tembok, menunduk sambil memainkan ibu jari. Yuna sedang menatapnya lekat, ia dapat merasakannya. Tidak ada yang membuka obrolan, hanya suara obrolan orang lain.
Selama beberapa saat mereka diam-diaman sampai akhirnya Yuna memulainya.
"Kak Yeji."
Ragu-ragu, Yeji mendongak membalas tatapan dingin Yuna. Wanita yang lebih muda darinya itu diam sebentar, hanya menatapnya, tapi kemudian menghela napas. Bukan seperti Yuna yang biasanya.
"Aku udah tahu kakak sama kak Lia lagi ada masalah."
Yeji hanya mengangguk.
"Aku 'kan udah dengar dari sisi kak Lia. Sekarang aku mau tahu dari sisi kak Yeji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bossy
Fanfiction"...panggil saya nona Julia." Gaji besar sebanding kerja bersama bos seperti nona Julia? Masih muda dan cantik, tapi Yeji ragu dengan sikapnya yang sulit dikompromi. Bertahan atau berhenti? Atau pilihan ketiga: memahami bosnya itu dan cari titik lem...