Sebuah tangan menggapai-gapai nakas di samping tempat tidur. Seseorang di balik selimut tebal menggeliat tak nyaman. Masih melawan rasa kantuk ditambah dering jam weker yang menggema memenuhi kamar membuat orang itu mengerang. Matanya sungguh berat untuk dibuka, bagai ada lem yang mengeratkan.
Tangannya berhasil memencet tombol off pada jam weker digital kecil yang ada di nakas. Ia duduk, setengah badannya masih terbalut selimut, matanya sama sekali belum terbuka tetapi pikirannya sudah melanglang buana. Memori kemarin terasa segar di otaknya. Rasanya ia baru mengalami kejadian itu sedetik yang lalu.
Hwang Yeji masih ingat betul dirinya sudah DI-PE-CAT alias pengangguran.
《FLASHBACK》
Lia menarik diri untuk berdiri, menatap Yeji dengan senyum miring yang tipis. Tatapannya mencemooh dan jahat. Sementara Yeji? Jantungnya tidak henti-hentinya berdegup, mungkin semakin kencang. Ia sendiri bingung degup jantungnya itu disebabkan oleh apa. Takutkah? Gugupkah? Atau...malu?
Tidak. Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Tapi wajar saja 'kan dia malu sebab posisi mereka beberapa menit lalu sangat dekat, bahkan bisa dibilang "intim"?
Apakah wajar?
"Pergilah."
Yeji buru-buru bangkit dari sofa--yang ia yakini akan ia benci mulai detik itu juga--meninggalkan ruangan terkutuk dengan penghuninya yang tidak lebih mirip dari iblis. Ia pergi begitu saja tanpa pamit, tanpa salam atau semacamnya, tidak peduli lagi soal sopan santun. Kakinya melangkah lebih cepat, semakin cepat, berjalan lebar-lebar dan sekarang berlari menuju lift.
Di dalam lift Yeji merasa blank. Otaknya seperti korslet. Semuanya terasa berhenti, terkecuali jantungnya yang entah kenapa masih sulit untuk dikontrol. Apa karena otaknya sedang korslet maka dari itu ia tidak bisa mengontrol jantungnya?
Mungkin jika lift tidak berdenting menandakan ia sudah sampai di lantai kantornya, ia akan bergeming. Mungkin ia akan diam saja sampai entah kapan. Tidak ada yang tahu.
Di lantai kantor divisi marketing, lantai 52, Yeji berjalan gontai menuju ruang kerjanya. Rute untuk ke sana perlu melewati beberapa meja staf yang terletak paling pinggir, dan ia akan melewati meja kerja Ryujin di paling ujung dekat pintu ruangannya. Belum sampai setengah jalan, entah takdir atau apa, sesaat mata mereka bertemu. Suatu dorongan kuat yang datang tiba-tiba membawa Yeji berlari ke sana. Ia menarik Ryujin ke dalam ruang kerjanya.
"Ryujeeennnnn!!!!"
Setelah pintu menutup sempurna, Yeji tidak dapat menahannya lagi. Ia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Eh, eh, ada apa ini kok tiba-tiba nangis?"
Ryujin reflek memeluk Yeji yang notabene ia anggap sahabat seperjuangan itu sejak ia diterima bekerja di perusahaan. Sambil mengusap-usap punggung Yeji, Ryujin bertanya-tanya apa yang membuat seorang badass Yeji dapat menangis tersedu-sedu seperti ini.
"Aku..di-dipecat."
"HAH?! YANG BENAR KALAU NGOMONG HWANG YEJI!"
Ryujin melepaskan pelukannya lalu menatap sahabatnya dengan melotot tidak percaya. Yeji yang masih menangis hanya bisa mengangguk karena tidak sanggup lagi bicara.
"Dipecat oleh si bos baru?!"
Yeji mengangguk lagi. Hati Ryujin mencelos sekaligus panas. Ia tidak percaya si bos baru yang kejam bukan isu belaka. Padahal bos baru itu baru bekerja dua hari, bagaimana bisa tingkahnya semena-mena seperti itu. Ryujin khawatir akan banyak juga yang mengalami nasib sama seperti sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bossy
Fanfiction"...panggil saya nona Julia." Gaji besar sebanding kerja bersama bos seperti nona Julia? Masih muda dan cantik, tapi Yeji ragu dengan sikapnya yang sulit dikompromi. Bertahan atau berhenti? Atau pilihan ketiga: memahami bosnya itu dan cari titik lem...