8

6.4K 710 81
                                    


Yeji POV

Aku terbangun merasakan nyeri di kepala. Sedikit meringis mendapat paparan sinar lampu yang langsung menyorot mata. Kamar dalam keadaan terang benderang. Apa Yuna lupa mematikan lampu?

Tidak. Seseorang yang tertidur pulas di sampingku menjawab pertanyaan itu.

Lagi-lagi deja vu bersama Lia. Ia masih terlelap, wajahnya damai sekali. Kelopak matanya yang tertutup menunjukkan bulu-bulu mata yang lebat. Memandanginya seperti ini memunculkan sebuah memori di benakku. Kejadian tadi malam.

Kami...berciuman.

Tanganku menyentuh bibirku sambil menatap bibir tipis namun ranum milik Lia. Aku yakin itu bukan mimpi tapi...bagaimana kalau itu cuma mimpi? Tapi kalau itu cuma mimpi kenapa aku bisa tidur di sini, di samping bosku, di kamarnya? Kalau itu mimpi kenapa terasa nyata? Lagipula kenapa juga aku memimpikan bosku dan aku beradegan seperti itu?! Atau bisa jadi aku cuma mabuk dan tidak sengaja kehilangan kesadaran di sini? Ah, terlalu banyak pertanyaan.

Aku memejamkan mataku untuk mengingat-ingat lagi kejadian semalam. Kami bertiga minum, aku dan Lia paling banyak meneguk minuman merah itu, aku ketagihan, aku merasa kepalaku menjadi ringan setelah beberapa gelas, keinginan untuk menari menjadi besar, aku tidak terlalu ingat aku menari seperti apa tapi yang jelas Lia bergabung, aku terjatuh di tempat tidur bersama Lia, kami tertawa-tawa, Lia menatapku lama dan mendekatkan wajahnya padaku...

Tidak salah lagi.

Aku beranjak dan keluar dari kamar Lia pelan-pelan, tidak mau mengganggu tidurnya. Aku berjalan sambil memegang kepalaku yang berdenyut dan sesekali meringis. Rasanya tidak enak sekali. Di saat kau seharusnya bangun dengan keadaan segar, kau malah bangun dengan sakit kepala.

Ada Yuna yang sedang memakan biskuit di ruang TV. Televisi menyala dengan volume kecil. Kulirik jam ternyata masih jam 5 pagi.

"Eh, kak Yeji udah bangun." Yuna menghampiriku. "Kepalanya sakit?"

Aku hanya bisa mengangguk. Ia menuntunku untuk duduk di sofa lalu ia pergi mengambil sesuatu. Sekembalinya, ia memberikan segelas air putih dan pil pereda nyeri. Aku mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.

Setelah rasa sakitnya mereda dan aku merasa lebih baik, aku bertanya, "Kamu bangun jam berapa, Yun?"

"Sekitar jam 4 atau setengah 5-an. Aku habis kemas-kemas ulang tadi. Kalau sakitnya udah hilang kakak mandi terus siap-siap. Pesawat kita berangkat pagi 'kan?"

"Iya."

Akhirnya tiba juga waktu untuk mengucapkan selamat tinggal pada New York, kota yang luar biasa. Semoga di lain waktu aku bisa mengunjungi tempat itu lagi. Aku berharap kenangan-kenangan indah yang tercipta di sana dapat membekas lama di memoriku.

Tentu saja ada satu kenangan yang aku yakin akan sangat sulit untuk dilupakan.

Selama di perjalanan kami semua tidak banyak bicara dan lebih memilih fokus pada kegiatan masing-masing. Yuna sibuk mengetik di notebook, Lia berkutat dengan tablet, sementara aku mencatat sesuatu di jurnal dan membalas tumpukan e-mail serta pesan-pesan dari klien. Melirik side profile Lia yang memukau, tanpa sadar aku malah memandanginya, berfokus pada bibirnya yang sekarang terlihat sedikit membengkak. Hasil kerjaanku.

Sepertinya Lia menyadari sedang dipandangi. Mata kami bertemu sesaat dan aku cuma bisa memalingkan wajahku dengan cepat.

Ah, aku ingin minta maaf padanya tetapi aku takut. Takut, karena Lia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengingat kejadian semalam. Takut, jika aku benar-benar melakukannya maka sama saja aku mengungkap sebuah kejadian tidak wajar yang seharusnya tidak terjadi dan akan berdampak pada hubungan kami.

BossyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang