Tiga hari tidak terlelap. Selama periode waktu itu ayah Yeji selalu ingin Yeji ada di sisinya. Yang membingungkan adalah ayah Yeji tidak berbicara, hanya minta ditemani, bahkan meminta Yeji meninggalkan pekerjaan di kantor. Mungkin keadaan yang masih canggung membuat mereka kikuk terlebih Yeji sendiri tidak tahu harus membuka topik yang seperti apa. Hidup berpisah dari ayahnya, keluarganya cukup lama berpengaruh pada sosialnya dengan orang tua sendiri.
Ayahnya pun tidak mau ditinggal dan menyuruh Yeji tidur di rumah sakit. Menuruti permintaannya, Yeji membawa semua pekerjaannya ke sana sambil berjaga kalau-kalau ayahnya butuh sesuatu. Ia tidak ingin terdengar durhaka atau bagaimana, yang jelas ayahnya menyuruh ini-itu banyak sekali selama ia di sana. Alhasil ia hampir sepenuhnya terjaga--jika tertidur selama beberapa menit di sofa kamar rumah sakit tidak terhitung.
Pada hari ketiga barulah ayah Yeji membuka obrolan. Mula-mula ia bertanya tentang keadaan perusahaan lalu menanyakan kabar Yeji sendiri. Yeji berbohong untuk pertanyaan terakhir.
"Kamu perlu tahu sesuatu." Ayah Yeji berbicara lagi setelah keadaan sempat hening.
"Ayah..bangga padamu, nak. Ibumu juga kakekmu, kakakmu juga..kami semua sangat bangga. Ibumu bilang kamu adalah anak yang paling membanggakan...dan ya, itu memang benar."
Yeji mencerna setiap kata itu. Apakah itu benar? Bukankah itu predikat yang terlalu berlebihan untuknya? Bukankah terlalu tinggi bagi orang seperti dirinya yang kabur dari masalah?
"Kenapa, ayah? Kenapa kalian bangga padaku? Padahal...aku meninggalkan rumah karena egois."
"Tidak, nak." Ayahnya menggenggam tangannya. "Kamu bisa hidup mandiri, menjadi pribadi yang kuat, pekerja keras, mengasah kualitas diri hingga sukses dengan usahamu sendiri. Kamu berbuat salah, ayah berbuat salah, kami berbuat salah. Kita semua tidak luput dari kesalahan."
"Jika..hidup diibaratkan kertas putih dan kesalahan adalah titik hitam yang mencolok, maka kamu berhasil mengisi ruang putih lainnya dengan garis berwarna. Dalam hidup kesalahan bukanlah tentang eksekusi tapi bagaimana kamu belajar dari itu."
Genggaman itu menjadi erat. "Maafkan ayah...belum bisa menjadi..ayah yang baik bagimu, Yeji. Ayah..benar-benar bangga padamu."
Sedetik kemudian, ayahnya menghembuskan nafas terakhir.
Terbangun dari tidurnya dan rekaman mimpi kejadian sehari lalu, Yeji mendapati dirinya dipeluk oleh Lia selama ia tidur di kamar yang asing. Ia sempat mengira itu mimpi tetapi suara detak jantung Lia dan hembusan lembut teratur napasnya terasa nyata. Senyaman apapun itu ia harus beranjak, sepelan mungkin, demi bersiap-siap karena hari ini adalah upacara kremasi untuk mendiang ayahnya. Yeji menatap Lia sebentar sebelum keluar kamar.
Lia sempat bingung Yeji menghilang. Ia menyadarinya saat Ryujin membangunkannya dan menyuruhnya untuk bersiap. Dalam hati, Lia sedikit sedih memikirkan kenapa Yeji pergi lebih dulu tanpa memberitahunya. Namun, ia mengerti Yeji sedang dalam kondisi sulit.
Dari awal hingga penghujung acara, Lia tidak meninggalkan sisi Yeji sekali pun. Masing-masing memang tidak banyak bersuara tetapi saling tahu bahwa yang satu sedang memberikan dukungan mental kepada yang lainnya dalam diam. Ryujin pun juga sama, hanya pergi sebentar saat menyambut kedatangan Chaeryeong dan Yuna yang tahu kabar duka itu darinya dan Lia. Saat tamu silih berganti berpamitan, terdapat seseorang yang tidak disangka muncul di hadapan Yeji dan Lia. Tamu itu tersenyum ramah menghampiri mereka.
"Hwang Yeji. Apa kabarmu, nak?"
Yeji membungkuk lalu menyalami tangan sang tamu. "Tuan Choi. Senang bertemu dengan Anda."
Tuan Choi alias papa Lia melihat raut kepanikan dan kebingungan Yeji yang berusaha ditutupi. Senyumnya awet. Senyum itu memang terlihat biasa tetapi dibaliknya ia sangat sedih mengetahui fakta salah satu teman baiknya harus pergi. Untuk saat ini saja ia ingin kuat demi anak temannya yang dibanggakan itu, yang juga ia banggakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bossy
Fiksi Penggemar"...panggil saya nona Julia." Gaji besar sebanding kerja bersama bos seperti nona Julia? Masih muda dan cantik, tapi Yeji ragu dengan sikapnya yang sulit dikompromi. Bertahan atau berhenti? Atau pilihan ketiga: memahami bosnya itu dan cari titik lem...