Dua Puluh Empat

9.8K 594 12
                                    

Pandangan seorang Rama yang sedang menatap jendela di kantor managementnya nampak gamang. Semenjak kepulangannya dari Jepang bersama dengan Karina, tidak banyak aktifitas lain yang dilakukan oleh Rama selain berdiam diri dan memandang dengan tatapan penuh kekosongan.

Rama tidak mengerti, sungguh tidak mengerti dengan permintaan Karina. Kalau seperti ini, lebih baik kontrak pernikahan mereka tidak ia bakar kemarin. Paling tidak, Rama bisa menahannya sampai setengah bulan lagi.

Desahan kesal kembali keluar dari mulut Rama. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati jendela. Lalu, seperti biasa ia akan memandang lama kendaraan-kendaraan yang sedang hilir mudik di bawah sana.

"Lah, Ram, sekarang seneng banget di sini ?" tanya Evan yang baru saja memasuki ruangannya. Manajer Rama itu langsung berjalan mendekati artisnya dengan segelas kopi di tangan.

Tanpa menoleh ke belakang, Rama menyahut, "Kayaknya gue punya hobi baru, deh. Mandangin jalan."

Evan memposisikan dirinya di samping Rama lalu memandang pria itu dengan mata menyipit. "Hobi lo yang kayak gini nih, cuma muncul kalo ada masalah gede."

Helaan napas panjang keluar dari mulut Evan. Pria itu kemudian mengangsurkan gelas yang ada di tangannya kepada Rama. "Karina ya ?" tembak Evan langsung. Rama menoleh ke samping dan menerima gelas dari Evan tanpa berkata-kata.

Mereka berdua kembali diam. Evan tidak ingin memaksa Rama untuk bercerita, pun dengan Rama yang masih bingung untuk mulai bercerita dari mana. Setelah menghabiskan separuh isi gelas, Rama akhirnya membuka suara. "Karina minta cerai. Dia bilang, dia udah ngelakuin sesuatu yang ngebuat gue terluka. Padahal, gue sama sekali nggak merasa begitu."

Pandangan Evan yang semulai menghadap jendela, kini berubah menuju Rama. Mata Evan menatap Rama dengan tatapan prihatin.

"Dan gue, gue juga nggak merasa udah ngelakuin sesuatu yang salah. Kalo seperti ini, menurut lo gue harus gimana ?" tanya Rama dengan nada lemah. Evan kembali menghela napas sebelum memberikan tepukan singkat di bahu Rama. "Gue mau tanya dulu, lo mau mengabulkan permintaan Karina ?"

Mata Rama nampak membulat dan kepalanya langsung menggeleng keras. "Nggak, tentu aja nggak. Setelah semua yang terjadi, gue akan tetap selalu menginginkan dia yang menjadi istri gue."

Evan memberikan senyum kecilnya lalu berkata, "Bagus. Pertahanin tekad lo itu. Dan buat saran, gue cuma mau bilang, coba lo cari tahu dari orang sekitar Karina. Mungkin lo bisa tanya manajernya yang resek itu atau keluarganya. Bisa aja kan, Karina cerita sesuatu ke mereka."

Rama terdiam, memikirkan saran yang baru saja didengarnya dari Evan. Ia kemudian mengangguk-angguk mengerti.

"Lo, terkadang bisa diandalkan juga ya, Van." ucap Rama seraya menepuk-nepuk punggung Evan. Evan mendengus. "Yailah, gue emang selalu bisa diandalkan kali. Lo aja yang selama ini nggak menyadari."

Rama terkekeh mendengarnya. Dan setelah mereda, ia mengangsurkan gelas yang sudah kosong kepada Evan. "Thank you, Van. Bisa apa gue tanpa lo."

Rama mendekatkan wajahnya kepada Evan dan berniat menggoda manajernya itu dengan memajukan bibirnya. Lalu, sesuai dugaannya, Evan langsung memundurkan wajahnya dengan cepat dan bergidik ngeri. "Buset, Ram. Lo itu baru mau dicerai, masa udah main beralih haluan aja, sih."

Suara gelak tawa Rama kini memenuhi ruangan. Lalu, setelah tawanya mereda, Rama menatap serius manajernya. "Gue bakalan jodohin lo beneran sama si Gadis."

"Kagak usah!" Evan langsung menolak dengan lantang. Rama menggeleng pelan. "Nggak bisa. Gue kudu membalas kebaikan lo. Pokoknya, gue bakal nyomblangin kalian sampe ke pelaminan nanti."

As Right As Rain - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang