Sembilan

9.7K 638 2
                                    

Satu bulan berlalu begitu cepat. Tak terasa sekarang adalah hari besar yang telah dinanti-nantikan oleh keluarga besar Rama dan Karina.

Meskipun segala persiapan dilakukan secara kilat, namun baik Rama maupun Karina tetap memastikan jika segalanya sempurna. Yah, walaupun keduanya tahu jika pernikahan ini hanyalah perjanjian di atas kontrak, tetapi yang lain tidak tahu bukan. Oleh karena itu, mereka berdua benar-benar melakukan segalanya dengan baik.

Rama tampak tenang di ruangannya. Ia kini sedang duduk di hadapan cermin dan berlatih mengucapkan kalimat ijab yang sebentar lagi akan dia ucapkan. Meskipun menghafalkan naskah yang begitu panjang adalah santapannya sehari-hari, namun entah kenapa kali ini rasanya agak sulit.

Mungkin karena efek sakral sebuah kalimat ijab, pikir Rama.

"Gue nggak nyangka seorang aktor kayak lo bisa kesulitan juga ya ngucapin kalimat ijab." ujar Juna, kakak Rama. Pria yang sudah menjadi ayah dari tiga orang anak itu baru saja memasuki ruangan persiapan sang mempelai pria.

Rama nampak tersenyum sambil memandang sang kakak lewat cermin.

"Dulu lo lebih parah dari gue, Mas." ejek Rama yang membuat Juna meringis sebelum terkekeh ketika mengingat masa lalunya itu. "Banget. Semua badan gue gemeteran waktu latihan ngucapin ijab."

"Udah, tenang aja. Gue yakin lo pasti bisa ngucapin dengan lancar nanti. Bisa dicabut entar gelar best actor lo kalo ngucapin ijabnya gagu."

Kini giliran Rama yang terkekeh mendengar ucapan kakaknya barusan. Ia kemudian membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan Juna. Pandangannya kini kembali serius. "Nikah itu gimana rasanya, Mas ?"

Juna terdengar menghela napas lalu memposisikan kedua tangannya bersedekap di depan dada. "Menikah itu salah satu keputusan terbesar di dalam hidup, Dek. Karena didalamnya terdapat tanggung jawab yang begitu besar. Bukan hanya senangnya aja, tapi lo juga harus siap sama dukanya."

"Gue sebagai kakak lo yang sudah berpengalaman cuma mau pesen satu. Dengarkanlah istri lo. Dengerin dia kalo lagi cerita, dengerin dia kalo lagi ngomel, dengerin dia kalo lagi curhat. Karena saat lo sedang mendengarkan, lo bakal tahu dan mengerti apa yang sedang istri lo rasakan. Lo akan tahu kapan dia sedang bersedih, senang ataupun marah. Perhatikan ekspresinya ketika sedang berbicara. Dengan begitu, lo bisa membaca apa yang sedang dirasakan oleh dia meskipun dia nggak ngomong."

"Tanpa harus dia bercerita, lo bisa memberikan penanganan yang tepat buat istri lo."

Rama mengangguk perlahan sambil mengatakan kepada dirinya untuk mengingat nasehat sang kakak barusan. Well, meskipun pernikahannya bukan pernikahan sungguhan seperti yang dijalani oleh Juna. Mungkin saja nasehat tadi akan berguna nantinya dalam menghadapi Karina.

Di saat dua saudara itu masih larut dalam diam, pintu ruangan terbuka dan menampilkan Adi, anggota WO yang bertugas mengurusi Rama.

"Sudah waktunya, Mas Rama. Dimohon untuk bersiap di tempat." ujarnya yang dibalas dengan anggukan singkat Rama. Adi pun segera berpamitan kepada dua orang yang berada di ruangan itu.

Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Rama, membuat Juna yang mengamati pria itu kini mendekat. Juna kemudian menepuk pelan pundak Rama beberapa kali untuk menenangkan.

"Lo pasti bisa, Dek. Inget, kalo lo lancar ijabnya, lo bakal bisa bersatu sama calon istri lo yang cantik itu." goda Juna yang membuat Rama menggeleng tak percaya. "Bisa aja lo, Mas."

Juna lah yang pertama kali berjalan meninggalkan ruangan. Meninggalkan Rama yang nampak menghembuskan napas panjangnya sekali lagi untuk mempersiapkan diri. Pria itu kini memandang pantulan dirinya di cermin sambil meyakinkan dirinya jika ia pasti bisa melewati ini semua.

As Right As Rain - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang