Dua Puluh Enam

10.9K 645 4
                                    

Rama sudah hidup selama tiga puluh tiga tahun di dunia ini. Namun, baru sekarang ia merasakan sebuah perasaan mengerikan yang sangat menyiksanya. Perasaan itu dinamakan rindu.

Sudah tiga bulan Rama mencari keberadaan Karina. Tapi, ia sama sekali tidak bisa menemukan jejak istrinya yang entah hilang kemana.

"Nih, air lemon lo." tiba-tiba saja, Evan sang manajer sudah berada di samping Rama dan menyodorkan sebuah botol minum berisikan air dengan irisan lemon. Lamunan Rama terpecah, ia kemudian meraih botol yang disodorkan Evan dan meminum isinya.

"Gue perhatiin, minuman favorit lo sekarang berubah ya."

Rama tersenyum miris. Ia memandang sejenak beberapa irisan lemon yang nampak mengambang di atas air dengan perasaan tak menentu.

"Air lemon itu...favoritnya Karina, Van."

Pria itu menarik napas dalam lalu mendongakkan kepalanya. "Ini udah tiga bulan. Gue sama sekali nggak melihat dia. Dan itu membuat gue gila, Van."

"I need to see her, feel her hand in mine. Dan yang terpenting, gue butuh melihat dia baik-baik saja."

Sejurus kemudian, Rama merasakan remasan kecil di pundaknya. Itu adalah Evan, yang kini sedang memberikan sedikit dukungan kepadanya.

"Kalo jodoh, nggak bakal kemana, Ram. Semesta bakal bantuin lo buat menemukan Karina."

Rama menoleh ke samping. Ia kemudian memberikan senyum lemahnya kepada Evan. "Thanks, bro."

Evan membalas senyuman Rama sebelum kembali berkata, "By the way, masalah nyokap lo yang dulu diracun gimana ?"

Wajah Rama berubah serius, tubuhnya pun kini menegak. "Gue udah dapet titik terangnya, Van. Doain aja, semoga gue bisa cepet-cepet nangkep dia."

"Amin amin. Lo pake jasa detektif atau gimana, sih ?"

Kepala Rama menggeleng. "Gue minta tolong bantuannya Edbert. Inget kan sama saudara kembarnya Karina itu ?"

"Yang jadi tim legal Waller Corp kan ?"

"Yes. Gue nggak nyangka, anak hukum kan biasanya lurus, eh dia malah enggak."

Wajah Evan berubah bingung. "Eh maksudnya lurus apaan nih ? Maksud lo bukan gay kan ?"

Rama terdiam beberapa detik sebelum tawanya meledak. "Buset, Van. Bukan masalah begituan maksud gue. Lurus itu maksudnya yang taat hukum. Nah, Edbert itu punya tim khusus buat nyari tahu segala sesuatunya dengan cara yang ilegal."

"Oooo, kayak pilem-pilem detektif atau mafia begitu ya ?"

"Nah, pinter!"

=====

Bisa datang ke rumahku, Ram ?

Kening Rama mengerut saat membaca sebuah pesan yang berasal dari Edbert. Ia merasa terkejut karena baru tadi siang dia membicarakan saudara kembar Karina itu bersama Evan.

Rama lalu menggerakkan jemarinya, mengetik balasan untuk Edbert.

On the way.

Setelah memastikan pesan itu terkirim, Rama menaruh ponselnya ke dalam saku celana dan meraih kunci mobil sebelum keluar dari rumahnya.

Empat puluh menit kemudian, akhirnya mobil yang dikendarai Rama memasuki pelataran rumah keluarga istrinya. Setelah mobilnya terparkir manis, Rama segera turun dan berjalan menuju pintu utama rumah.

Setelah menekan bell pintu, mata Rama berkeliling memandang sekitar sembari menunggu sang tuan rumah membukakan pintu.

"Rama! Astaga, Nak, ayo masuk." itu adalah Rosa, ibu mertuanya yang masih nampak cantik di usianya yang sudah menginjak setengah abad. Rama menunjukkan senyum ramahnya sebelum meraih tangan Rosa untuk menyalaminya.

As Right As Rain - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang