SH 3

6.3K 1.1K 36
                                    

Joana memakai blazer abu-abu kesayangannya dan membawa tas jinjing berisikan laptop. Diambil ponsel yang terletak di mejanya dan terdapat sebuah pesan yang masuk. Whatsapp dari nomor tidak dikenal.

Dibuka pesan itu dan ia lihat foto profilnya ternyata dari Delia. Ia langsung berpikir pasti Silvia atau Vano yang memberitahu nomornya. Namun entah mengapa ia tidak merasa kesal, padahal nomor handphone baginya hal yang sangat privasi dan tidak sembarang orang boleh mengetahui.

"Hai, Jo."
"Ini aku, Delia."
"Maaf mengganggu."

Begitulah isi pesan tersebut. Joana tersenyum membacanya. Namun mengapa Delia tidak meminta nomor langsung padanya? Membuat ia berpikir sejenak. Tapi pesan tersebut tidak langsung ia balas. Chat tersebut ia tunda sejenak karena jam sudah menunjukan pukul enam sore, ia harus segera pulang.

Joana memilih menyetir sendiri dengan mobil kantor karena mobil yang ia pakai tadi siang bersama supirnya ternyata ada sedikit trouble sehingga harus dibawa ke bengkel. Mobil tersebut melaju dengan kecepatan sedang sembari ia berpikir tentang Delia. Seorang wanita yang mandiri juga menyenangkan.

"Apa-apaan nih? Kenapa jadi mikirin Delia? Nggak mungkin gue ada rasa sama dia."

Hatinya bergumam sendiri, ia bergumul dengan pikiran tersebut berulang kali. Tapi di saat yang bersamaan bayangan wajah Karin juga menguasai pikirannya. Ia rindu pada gadis itu, ia masih sangat menyayangi pujaan hatinya yang telah pergi.

"Sial, sial, sial. Gue benci keadaan ini."

Kemudi yang ia pegang dipukulnya berkali-kali. Hatinya merasa sangat kacau dan tidak menentu. Di satu sisi ia rindu namun di sisi lain ia tidak berdaya dalam meluapkan perasaannya. Bimbang, marah dan kecewa adalah gambaran hati Joana saat ini. Ia benar-benar merasa bagai manusia terlemah di dunia ini.

Ia membelokan mobilnya ke arah sebuah taman kota. Tidak peduli dengan suasana yang berubah malam. Ia ingin menenangkan jiwanya yang kesepian. Diparkirkan mobilnya dan ia turun lalu berjalan menuju sebuah bangku taman seukuran dua orang. Bangku taman yang terbuat dari kayu berwarna cokelat kokoh dan indah. Ia duduk dan merenung sembari mengusap wajahnya yang lusuh itu.

"Karin, dimana kamu sayang? Aku rindu."

Bicaranya begitu lirih dan menyayat hati. Pilu yang ia rasa sangat berkecamuk. Ia tidak pernah merasa sebegitu sedihnya. Hati yang ia punya tersayat rindu yang menggebu.

"Kenapa kamu ninggalin aku? Apa salah aku sama kamu?"

Ia terus saja menyesali dengan semua yang terjadi. Hatinya belum merelakan Karin untuk pergi. Cinta dan kasih sayang yang telah Karin beri padanya begitu tertanam sampai ke dasar hatinya. Sulit untuk mencabut rasa itu karena akar kecintaan yang begitu dalam. Semakin ia lupa, semakin ia tersiksa.

***

"Eh, guys! Liat deh si Joana. Sok banget ya dia. Nggak pernah mau nyapa." kerumunan mahasiswi bergosip ria. Mereka begitu nyinyir kepada Joana.

"Jangan begitu. Kalian kan belum tahu dia seperti apa aslinya."

"Eh, Karin. Dari sini keliatan kalau Joana tuh angkuh. Lo liat aja gayanya."

Karin hanya tersenyum sembari memperhatikan Joana dari jauh. Ia berjalan di lorong kampus dan memang tidak menyapa siapapun. Joana terus berjalan tanpa peduli dengan kanan dan kiri. Namun Karin paham bahwa Joana tidak seperti itu. Buktinya saja semalam ia diantar Joana pulang ketika malam datang di tengah derasnya hujan.

"Ya udah, nggak baik suudzon kaya gitu."

Karin menuju area kantin, ia lapar karena tadi pagi lupa untuk sarapan sebab hampir kesiangan. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi ketika ia memandang arloji berwarna biru muda yang bertengger apik di tangan kirinya. Tidak biasanya Karin seperti itu, mungkin karena tidurnya semalam yang nyenyak sekali. Ia tertidur dengan memakai jaket dari Joana. Terasa hangat dan nyaman.

Stay HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang