43. Rintik Hujan

31.8K 1.8K 167
                                    

Jangan hanya terfokus pada setiap hal yang membuatmu sedih, pikirkan dia yang tengah mati-matian melukis senyum di sudut bibirmu.

...

"Apa yang lo bilang ke Alexa saat di rumah sakit dua hari lalu?" tanya Venus penasaran. Diputarnya kembali memori ingatannya kala itu. Di saat Venus yang saat itu hendak mengambil ponselnya yang tertinggal di ruang perawatan Mars. Dan baru saja ia sampai di depan ambang pintu, Venus lebih dulu mendapati wajah yang tidak biasa dari Alexa. Venus dapat menebak jika raut Alexa tidak baik-baik saja. Gadis itu mengumpati segala macam perasaan tidak jelas yang sebisa mungkin harus ia sembunyikan dari kerumunan orang, termasuk gadis yang kini berdiri di depan pintu ruangan.

Alexa tidak lupa mengutas senyumnya kala itu. Dan bodohnya, Venus tidak menyadari semua itu sama sekali. Venus tidak sadar jika senyum palsu itu Alexa tunjukan di depan dirinya.

"Kenapa lo kepo?" tanya Mars.

"Gue cuma nanya."

"Apa bedanya sama kepo?"

"Mars!!!!" pekik Venus merengek. Tidak ada hal lain yang lebih menyebalkan selain meladeni setiap ucapan menyebalkan lelaki itu. "Gue serius."

"Gue juga serius."

"Apaannya yang serius! lo aja malah ngatain gue kepo!" kesal Venus memanyutkan bibirnya beberapa centi. Memalingkan wajahnya sebisa mungkin agar ia tidak melihat lagi wajah Mars yang kini tengah mengulas senyum yang begitu tipis.

"Kok jadi lo yang marah?" ujar Mars yang masih terus menatap setiap gerak gerik Venus di sampingnya.

"Yaudah buruan!"

"Buruan apa?" tanya Mars bingung. "Jangan buru-buru, benahin dulu hati lo biar siap."

Tubuh Venus menegang. Rasanya ada sebuah gumpalan yang menabrak hatinya dengan gesekan yang kuat. Tak bisa Venus menghindar, yang ada malah ia ingin sengaja menabrakan diri. Venus terdiam, berusaha sekuat mungkin menahan gejolak rasa amburadul yang menyerang hatinya bertubi-tubi. Dadanya terasa sesak, bukan sesak seperti biasanya. Melainkan sesak akibat dirinya yang bersusah payah menahan debaran jantungnya agar tidak terdengar oleh lelaki itu.

Venus tak berani manatap Mars. Venus sepengecut itu. Tubuh Venus terasa dingin. Cuaca memang sedang tidak bersahabat, langit juga tengah mengeluarkan tangisnya. Namun bukannya sejak tadi, Venus malah baru merasakan dingin yang kian menusuk kulitnya sekarang. Padahal jaket Mars sudah mengulum tubuhnya sehangat mungkin. Namun tetap saja tidak berhasil.

...

Setelah gadis itu pergi meninggalkannya di ruangan bernuansa putih yang ditemani beberapa peralatan medis lainnya, Mars hanya diam. Hanya itu yang ia lakukan sejak Venus akhirnya memutuskan pergi untuk menemui sahabatnya yang tengah bertanding. Mars telah mencuri seluruh waktu Venus. Namun Mars juga merasa jika semua waktu itu belum cukup untuknya. Ada rasa ingin menahan ketika gadis itu melangkah pergi meninggalkannya, dengan seorang gadis yang sedang tidak ingin Mars lihat keberadaannya saat itu.

Ada kecewa yang menumpuk tinggi di dalam hatinya. Ditambah dengan rasa amarah yang berusaha ia tahan mati-matian agar tidak keluar di saat seperti ini. Alexa kian mendekat, rahang Mars kian menguat. Dan akhirnya kini gadis itu telah sampai tepat di samping ranjang Mars.

Mars belum juga melihat ke arah gadis itu, beda halnya dengan Alexa yang sudah menatapnya penuh kekhawatiran. Wajah Mars kian menegang, rasanya ingin sekali ia menumpahkan semuanya di sini. Namun Mars sadar diri, jika ia bukan sepengecut itu membentak gadis yang begitu ia cintai sampai saat itu.

Eh, Mars! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang