Part 4

1.9K 162 1
                                    

Di kelas, Yuki gelisah. Ditatapnya bangku disampingnya yang kosong. Disana biasanya Stefan duduk. Yuki tidak tahan lagi. Ia berdiri dan langsung izin keluar kelas. Ia pun berjalan ke arah UKS. Ia mendapati Stefan sedang terbaring lemah disana. 


"Stefan, kita harus ke rumah sakit sekarang," ujar Yuki yang kini sudah berdiri dihadapan Stefan. Stefan membuka matanya dan melihat Yuki. 


"Ngapain lo disini. Bukannya masuk kelas," ujar Stefan pelan.

Yuki mendekat. Ia menunduk. Sedetik kemudian terdengar suara isakan dari Yuki. Stefan menatap Yuki, mencari tahu apa yang sedang terjadi. 


"Ki, kenapa lo nangis?" tanya Stefan lembut. 


"Maafin gue. Ini semua gara-gara gue. Gue jahat banget udah ninggalin lo. Gue..." isakan Yuki semakin keras. 


"Ssstt... Bukan salah lo kok. Tapi harusnya lo bilang kalo lo udah berangkat duluan. Jadi gue kan ngga perlu jemput lo," ujar Stefan. Yuki mengangguk pelan. 


"Lo pasti benci dan marah banget sama gue, iya kan?" ujar Yuki masih sesunggukan. Stefan tersenyum kecil. 


"Gue pernah bisa marah apalagi benci sama lo, Ki." ujar Stefan pelan. Yuki pun memeluk Stefan. Ia menumpahkan airmatanya di hahu Stefan. Stefan mengusap lembut punggung Yuki. 


"Kita kerumah sakit ya," ujar Yuki pelan. Stefan menggeleng. 


"Ngga perlu. Gue baik-baik aja kok," ujar Stefan pelan. Diluar, Gio, Max, Nina, dan Chika tersenyum melihat keduanya. 

*  *  *  *  *

Hari ini Yuki, Stefan dan lainnya berencana hunting gambar untuk menemani Yuki. Jangan ditanya bagaimana bahagianya Yuki. Semua temannya berkumpul. 


"Coba kalian kayak gini terus," ujar Yuki senang. 


"Itu maunya lo," tukas Nina.

Yuki tertawa kecil. Mereka pun mulai mencari objek yang bagus. Yuki dan Stefan memotret sepasang bebek yang sedang berenang. Tiba-tiba ada yang datang dan menyapa Yuki. 


"Hai, Ki." Yuki menoleh dan mendapati Al berdiri sambil tersenyum didepannya. 


"Hai, Al." ujar Yuki senang.

Stefan menatap wajah Yuki yang berubah ketika melihat Al. Ada raut yang berbeda disana. Stefan mengalihkan pandangannya. Ia mengambil gambar lagi. Kenapa tiba-tiba ia merasa akan kehilangan Yuki. Praaankk.... Stefan menjatuhkan kamera Yuki. Stefan kaget. Terlebih Yuki. Ia melihat ke bawah dan menemukan kameranya bertaburan. 


"Stefan," 


"Sorry, Ki. Gue ngga sengaja." ujar Stefan. Yuki lama menatap Stefan. Ada kekecewaan disana. Tapi kemudian senyum tersungging dibibir Yuki. 


"Lain kali hati-hati ya. Lo ngga pa-pa kan?" tanya Yuki pelan. Stefan tercengang. 


"Coba gue liat," ujar Al yang kemudian mengambil alih kamera Yuki.

Stefan memerhatikan Al dengan tatapan tidak suka. Ia mulai gerah dengan situasi sekarang. Kehadirannya seperti tidak dianggap. Yuki sedang asyik memperhatikan Al yang memperbaiki kameranya. Stefan perlahan mundur. Tepat dugaan Stefan, Yuki tidak menyadari kepergiannya. Stefan duduk di bangku taman sambil memperhatikan kebersamaan Yuki dan Al. Mereka terlihat seperi sepasang kekasih. 


"Udah gue bilang kan, kalo kelamaan ntar diambil orang." ujar Gio yang duduk disebelah Stefan. Stefan hanya tersenyum kecil. Nina dan Chika datang sambil membawa 5 buah es krim. 


"Untuk menyejukan hati yang sedang panas," ujar Chika sambil tertawa kecil. Semuanya tertawa. 


"Mungkin lo perlu bantuan kita," ujar Nina. Gio dan Max mengangguk mengiyakan penawaran Nina. 


"Kayaknya dia udah bahagia," ujar Stefan pelan sambil tersenyum getir. Gio menepuk bahu Stefan pelan. 


"Kapanpun lo butuh bantuan, kita selalu siap buat lo," ujar Max sambil mengacungkan es krimnya pada teman-temannya. 


"Cheerrss..." pekik Max. Mereka bersulang es krim. Gelak tawa pun terdengar diantara mereka. Yuki dan Al tiba-tiba datang diantara mereka. 


"Gue sama Al mau hunting gambar disana. Kalian mau pada ikut ngga?" tanya Yuki. Stefan diam. Gio dan lainnya kompak menggeleng mantap. 


"Kalian aja yang pergi. Kita tunggu disini," ujar Stefan sambil berusaha tersenyum.

Yuki pun pergi bersama Al. Pandangan Stefan tak lepas dari Yuki hingga punggung gadis itu tidak terlihat lagi. Ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu menatap wajah teman-temannya satu per satu. Nina mengusap lembut punggung Stefan. 


"Cinta butuh pengorbanan, Stef." ujar Nina pelan. 


"Dan lo ngga boleh nyerah gitu aja," tambah Chika. 


"Gue tahu," ujar Stefan lirih. 


"Dan gue udah ngorbanin perasaan gue untuk dia." lirih batin Stefan sambil menatap sedih orang yang dicintainya saat ini sedang bersama orang lain yang baru dia kenal. 

* * * * *

Dirumah, Stefan mendapat sebuah surat. Ia membaca nama si pengirim surat. Matanya membulat sempurna. Deg! Jantung Stefan berdebar. Ia dengan cepat membuka amplop surat dan membaca isinya. Senyum bahagia terlukis diwajah Stefan. Ia mengambil ponselnya. Lalu menekan angka 1 untuk dial number. Tapi dengan cepat Stefan mengurungkan niatnya. Sejenak ia berpikir. 


"Gue harus bilang yang sebenarnya sama dia, kalo gue sayang banget sama dia," ujar Stefan mantap.

Lalu ia menatap sebuah bingkai foto yang terduduk di atas meja belajarnya. Foto yang memperlihatkan kebersamaan mereka dari kecil. Stefan menatap satu wajah disana. Wajah yang selalu menunjukkan kebahagiaan. Tidak pernah ada mendung kesedihan disana. Stefan mengambil ponselnya lagi. Lalu ia menekan angka 1 dan terhubung. Cukup lama Stefan menunggu teleponnya diangkat. 


"Halo," 


"Besok lo ada waktu? Ada yang pengen gue omongin sama lo." ujar Stefan. 


"Gue juga. Sampai ketemu besok ya. Kita ketemuan di cafe biasa," 


"He-eh," gumam Stefan mengiyakan. Kemudian sambungan komunikasi itu terputus. 


"Besok. Semuanya harus terungkap. Harus." ujar Stefan memantapkan dirinya. 

Continued...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang