Yuki dan sahabat-sahabatnya sedang berkumpul di apartement baru Yuki. Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan untuk meresmikan tempat tinggal baru Yuki.
"Lo yang pilih sendiri apartementnya, Ki?" tanya Chika. Yuki hanya mengangguk. Karena saat ini ia sedang mengunyah mie ayam kesukaannya.
"Yuki emang selalu punya selera yang bagus," puji Gio.Semua mengangguk setuju. Max berdehem kecil lalu ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan selembar kertas. Ia memberikannya pada Yuki. Yuki menaikkan sebelah alisnya. Bingung.
"Ini apa?" tanya Yuki.
"Nomor telepon tempat Stefan kuliah. Lo coba hubungi, trus tanya tentang Stefan." jelas Max.
Yuki dan lainnya memandang Max takjub. Tidak percaya. Dari mana ia mendapat ide seperti itu. Yuki, Gio, Nina, dan Chika mendekat serempak ke arah Max sambil membawa bantal. Kemudian mereka memukulnya dengan bantal dan pukulan-pukulan serta gelitikan kecil.
"Hei, berhenti..." pekik Max sambil menahan geli diperutnya.
"Sejak kapan lo jadi pinter? Dapat dimana lo informasinya?" tanya Gio penasaran. Max membenarkan posisi duduknya. Ia menarik napas pelan lalu menghembuskannya.
"Ehm... Gue kemarin ke sekolah. Gue tanya ke Kepala Sekolah apa beliau tahu Stefan kuliah dimana. Beliau menjawab iya dan memberikan nama universitas serta nomor telepon tempat Stefan kuliah." cerita Max panjang lebar yang membuat semua sahabatnya tersenyum senang, terlebih Yuki. Ia sudah tidak sabar ingin tahu keadaan Stefan. Yuki mengambil ponselnya lalu menekan beberapa angka yang tertera dikertas ke layar ponselnya. Lalu menghubungi nomor tersebut. Terdengar nada tunggu disini. Cklik...
"Halo, what can I help you?" tanya suara wanita disana.
"Ya. I want to speak with Stefan from Indonesia," ujar Yuki kemudian.
"What is your name, Miss?" tanya orang itu.
"My name is Yuki. From Indonesia." jawab Yuki.
Yuki mendengarkan dengan baik apa yang dikatakan seorang wanita itu. Yuki mengetukan jarinya ke lantai. Tidak sabar menunggu kabar selanjutnya. Tiba-tiba wajah Yuki berubah. Awalnya wajah Yuki terlihat bersemangat. Namun tiba-tiba semangat itu menghilang.
"Can you check again, please." ujar Yuki pelan. Wanita itu kembali diam. Mungkin ia sibuk mencari nama Stefan. Yuki memandangi wajah sahabat-sahabatnya satu per satu.
"I'm sorry, Miss. Yuki. I'm not find her name." ujar wanita itu. Yuki menghela napas.
"Are you sure?" tanya Yuki lagi. Dan lagi-lagi jawaban wanita itu sama. Dia tidak menemukan Stefan terdaftar sebagai mahasiswa disana. Yuki menutup teleponnya cepat. Ia menunduk lesu.
"Gimana? Stefan ada disana?" tanya Chika penasaran. Yuki menggeleng pelan. Mereka mengerti maksud gelengan kepala yang diberikan Yuki.
"Kok bisa?" tanya Gio sedikit terkejut.
"Mereka bilang ngga ada yang namanya Stefan terdaftar sebagai mahasiswa disana." ujar Yuki pelan.
Di Jerman, Nasya berdiri disebelah wanita yang berbicara dengan Yuki. Ya, ia menyuruh wanita itu untuk tidak memberitahu kalau Stefan ada di sana. Saat ini Stefan memang kuliah di sana. Entah dapat pemikiran dari mana, Nasya menyembunyikan Stefan dari Yuki.
Yuki terdiam sejenak, lalu beranjak dari tempatnya lalu berjalan menuju kamarnya. Beberapa menit kemudian ia sudah keluar dengan dress hitam selutut tanpa lengan. Sambil memasang anting ke telinganya ia berjalan menuju lemari kecil tempat ia meletakkan high heelsnya. Ia mengambilnya lalu berjalan ke arah pintu.
"Lo mau kemana, Ki?" tanya Nina. Nina hanya saling berpandangan dengan sahabat-sahabatnya.
"Gue baru inget kalo gue ada janji. Kalian nginap disini aja, oke?" ujar Yuki sambil tersenyum kecil lalu menghilang dibalik pintu.
Gio memandang Max, Max mengerti. Ia pun segera beranjak dari duduknya lalu pergi menyusul Yuki tanpa sepengetahuan gadis itu. Mobil Max berada di belakang mobil Yuki. Mobil Yuki memasuki halaman bar langganannya. Semua mata memandang ke arah Yuki yang berjalan masuk. Mata liar para lelaki playboy dan hidung belang menatap Yuki dengan tatapan berbeda. Yuki berjalan menuju meja minum. Ia tersenyum pada seorang bartender disana.
"Biasa," ujar Yuki.
Bartender itu hanya mengangguk kecil sambil tersenyum. Kepala Yuki mulai bergerak mengikuti irama musik yang memenuhi ruangan. House music terdengar pecah di telinga. Yuki meneguk minumannya dengan sekali teguk. Gelas berikutnya pun ia minum dengan sekali tegukan. Setelah minum beberapa gelas, Yuki terlihat sudah mabuk. Ia tidak sadarkan diri. Sang bartender memandang Max sekilas sambil mengangguk kecil. Max mendekati Yuki lalu menggendong Yuki ke luar dari bar. Max membawa Yuki ke mobilnya dan mengantarkan gadis itu pulang ke apartement barunya. Disana Gio dan lainnya sudah menunggu. Gantian Gio menggendong Yuki ke kamar. Nina dan Chika menyusul ke kamar. Keduanya membantu Yuki berganti pakaian. Beberapa menit kemudian Nina dan Chika keluar.
"Dia udah tidur?" tanya Gio. Nina dan Chika mengangguk serempak.
"Ada apa sama Yuki? Kenapa dia jadi kayak gini," ujar Nina sedih.
"Entahlah, anak itu semakin hari semakin susah ditebak." ujar Gio.
"Gue harap Stefan cepat pulang," ujar Chika pelan. Selang beberapa waktu mereka telah terlelap. Gio dan Max tertidur di sofa. Sedangkan Nina dan Chika menemani Yuki tidur dikamar.
= * =
Yuki berjalan memasuki kantor tempat ia bekerja. Ia bekerja di kantor milik Papanya. Ia menjabat sebagai Direktur Utama disana. Semua staf dan karyawan sudah menunggu kedatangan Yuki.
"Selamat datang di perusahaan ini, Bu." ujar seorang lelaki paruh baya. Yuki hanya tersenyum tipis. Yuki memandangi setiap wajah para staf dan karyawannya.
"Saya butuh seorang asisten," ujar Yuki tiba-tiba. Para staf saling berpandangan bingung. Yuki segera berjalan menuju ruangannya. Setengah jam kemudian terdengar ketukan dari luar.
"Masuk," ujar Yuki. Seorang lelaki yang masih terlihat masih muda berjalan masuk. Yuki memandangi lelaki itu lekat. Lalu tersenyum.
"Perkenalkan, Bu. Nama saya Verrel. Saya direkomendarikan Pak Hidayat untuk menjadi asisten Ibu Yuki," jelas Verrel.
"Oke. Mulai sekarang kamu jadi asisten saya. Oh ya, jangan panggil saya Ibu. Itu terlalu untuk saya," ujar Yuki. Perkataan terakhir yuki membuat Verrel tersenyum.
"Baik, Bu. Eh, Yuki." ujar Verrel. Keduanya tertawa.
= * =
5 tahun kemudian...
Yuki saat ini berada di bar. Meneguk minuman yang pada akhirnya membuat ia tidak sadarkan diri. Gio sudah lelah mengikuti kebiasaan Yuki. Menjemputnya setiap kali mabuk, Gio merasa lelah. Karena itu, sekarang ia menyuruh Max yang menjaga Yuki. Namun malam ini Max tidak bisa, karena ia ada urusan lain. Seorang lelaki mulai mendekat ke arah Yuki. "Hai, cantik." sapa lelaki itu. Yuki melihat orang yang mendekatinya. Lelaki itu tersenyum ke arah Yuki."Lo siapa?" tanya Yuki dengan suara seraknya. Lelaki itu menarik tangan Yuki dan memaksa Yuki untuk berdiri. Yuki meronta. Berusaha melepaskan pegangan tangan lelaki itu.
"Lepasin gue!" pekik Yuki dengan suara khas orang mabuk. Lelaki itu semakin erat memegang tangan Yuki. "Lepasin..." pekik Yuki. Lelaki itu malah tertawa senang melihat Yuki meronta.
"Lepasin dia..." ujar seorang lelaki dari arah belakang Yuki. Yuki menoleh ke belakang dan melihat seorang lelaki bertubuh tinggi yang memakai kemeja hitam yang digulung bagian lengannya. Yuki menatap lelaki itu erat.
"Yuki..." Yuki tercekat. Ia sepertinya tidak asing mendengar suara itu. Ia semakin menatap lekaki itu lekat. Dengan pandangannya yang kabur ia berusaha mengingat pemilik suara itu. Yuki dan lelaki itu saling berpandangan.
"Kamu ngga pa-pa kan?"
"..."
continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Destiny
RomanceSaat engkau mencintai seseorang, katakanlah... sebelum akhirnya ia pergi dan kau menyesal...